Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan tubuh) di dalam tubuh bayi dan anak. Tujuan akhir imunisasi adalah mengeradiksi (melenyapkan dari muka bumi) penyakit. Berdasarkan teori antibodi, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibodi terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut. Tubuh manusia dilengkapi dengan antibodi untuk mengatasi serangan penyakit, tetapi kadar tiap orang berbeda-beda. Makanya, imunisasi ditujukan untuk meningkatkan kekebalan seseorang lewat vaksin.
Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat dan kecacatan. Memang ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalan- nya.
Sebagai landasan normatif terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit, bahwa pencegahan secara dini terhadap terjangkitnya suatu penyakit, seperti dengan imunisasi polio, campak, dan juga DPT serta BCG, adalah cermin perintah Allah agar tidak meninggalkan keluarga yang lemah (An-Nisa’ (4): 9).
Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit menular seksual, Islam dengan tegas melarang umatnya untuk mendekati zina. Dalam surat al-Isra (17): 32 yang artinya: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.” Coba perhatikan, bukan larangan berzina tapi larangan untuk mendekati zina. Suatu aspek preventif yang luar biasa karena jauh lebih mudah menghindari mendekati zina daripada menghindari berzina. Panduan terhadap pencegahan penyakit dalam al-Qur’an maupun al-Hadis (petunjuk Nabi saw) dapat dilihat pada beberapa ayat dan hadis berikut: “Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi musuh-musuhmu…”
Dalam sebuah hadis shahih (sesuai syarat al-Bukhari-Muslim) yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw berpesan : “Ightanim khamsan qabla khams” (Manfaatkanlah oleh kalian lima perkara sebelum datangnya lima perkara yang lainnya), dan di antara yang lima perkara itu adalah: “Sihhataka qabla saqamika ” Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.
Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai wabah berlalu.
Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sampar itu siksa yang dikirimkan kepada Bani Israel atau orang-orang yang hidup sebelum kalian. Apabila kalian mendengar adanya sampar itu di suatu daerah, maka janganlah kalian datang ke sana. Dan kalau sampar itu berjangkit di suatu daerah, sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya“. (HR. al-Bukhari).
Inilah konsep isolasi daerah wabah yang sudah diajarkan oleh Nabi saw sejak dahulu.
“Barang siapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ‘Ajwah, dia tidak akan dibahayakan oleh racun dan sihir pada hari itu.” (Hadits diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas, HR. Al-Bukhari)
Dari beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran modern.
Islam memberi kebebasan dalam hal teknik pencegahan sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu. Islam tidak pernah membatasi kemajuan teknologi, namun hanya memberi batasan atau rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Seperti larangan berobat dengan yang haram, larangan berobat ke dukun atau ahli sihir namun mengenai hal-hal yang bersifat teknis sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan zamannya. Dengan prinsip ini tidak heran bahwa para ilmuwan muslim pernah mencapai puncak kejayaannya dalam hal sains tidak berapa lama setelah Nabi saw wafat.
Bila ditanyakan adakah dalil dari al-Qur’an atau Hadis Nabi yang spesifik menyebutkan perlunya vaksinasi? Jawabannya tentu tidak ada. Namun tidak adanya dalil qauliyah bukan berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran Nabi saw. Hal ini adalah karena vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu pengetahuan modern yang diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia. Berdasarkan penelitian yang tekun dan seksama. Oleh karena itu, pakar mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter dan peneliti di bidang vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli statistik, atau yang lainnya.
Dasar hukum
1. Al-Qur’an
... dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah [5]:32)
... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, (al-Baqarah [2]: 195)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (al-Baqarah [2]: 168)
dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(An-Nisa’ [4]: 9)
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al-Baqarah [2]: 173).
2. Al-Hadis
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya. (HR. al-Bukhari).
Pendapat Muhammad al-Khatib asy-Syarbaini dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj yang menjelaskan benda najis atau yang diharamkan untuk obat ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya. “berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya”.
“... Adapun perintah Nabi saw kepada suku Uraniyyin untuk meminum air kencing onta, itu untuk kepentingan berobat, maka ini dibolehkan sekalipun najis, kecuali khamr”. Berdasarkan Hadis: Thariq bin Suwaid al-Ju’fi bertanya kepada Nabi saw. tentang khamr, maka Nabi melarangnya untuk membuat khamer. Kemudian dia berkata:”sesungguhnya saya membuatnya untuk obat”, Nabi bersabda: sesungguhnya khamer itu bukan obat tetapi penyakit. (HR. Muslim).
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan sandaran untuk menghukumi masalah vaksin polio ini adalah sebagai berikut: “..janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”,” (QS. al-Baqarah [2]: 195). “dari Jabir [diriwayatkan], dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda: Setiap penyakit ada obatnya, maka penyakit telah dikenai obat, semoga sembuh dengan izin Allah.” [HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai lafal dari Muslim]