“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kiyai Ahmad Dahlan menitipkannya…”

(Nyai Ahmad Dahlan)

Nyai Ahmad Dahlan  Siti Walidah


“Kalau berani datang lagi ke Banyuwangi akan disambut pukulan sehingga pulangnya menjadi mayat dan istrinya diperbudak!” Terlontar ancaman pada K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dampak psikologis tak hanya dirasakan olehnya namun juga sang istri, Nyai Ahmad Dahlan Dahlan. Perjalanan dakwah suaminya ke Banyuwangi, bukan perkara mudah, ancaman pembunuhan tidak membuat keduanya gentar.

Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah menemani sang suami berjuang lewat Persyarikatan Muhammadiyah hingga akhir hayat. Peran awalnya tak begitu kentara, baru setelah K.H Ahamad Dahlan wafat, Siti Walidah tampil vokal sebagai Pembina sekaligus penggerak organisasi, khususnya Aisyiyah.

Perempuan yang lahir di Kauman pada 1872 M, merupakan putri keempat dari tujuh bersaudara Kyai Penghulu Haji Muhammad Fadhil. Salah satu adiknya adalah K.H. Ibrahim yang juga pernah menjabat sebagai President Hoofdbestuur Muhammadiyah pada periode 1923-1932. Sejak kecil, Siti Walidah cenderung menonjol dibanding kawan-kawannya perihal kelancaran bicara dan keberaniannya. Tidak banyak sumber yang rinci menjelaskan tentang masa kecilnya. Setelah beranjak dewasa, Kyai Fadhil menyuruh putrinya ini untuk mengajar di langgar sekitar. Begitu ia dianggap layak menikah, ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri melalui sistim perkawinan family yang lazim terjadi di Kauman.

Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis, nama kecil K.H. Ahmad Dahlan, pada 1889. Muhammad Darwis, lelaki kelahiran 1868 adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung (Besar) Kesultanan Yogyakarta. Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari K.H. Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1912, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi pembaruan Islam pertama di Yogyakarta. Sejak Muhammadiyah berdiri, Siti Walidah menyokong perjuangan suaminya lewat perannya mengusahakan pendidikan (pengajian) kaum wanita di beberapa kampung, seperti Kauman, Lempuyanagan, Karangkajen dan Pakualaman. Perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Wal Ashri. Sesekali, Nyai Ahmad Dahlan menggantikan peran suaminya, menyampaikan pengajian di forum Wal Ashri.

Siti Walidah juga menaruh perhatian besar kepada para buruh perempuan di unit usaha batik Kauman. Selain industri yang meningkat, lokasi Kauman yang merupakan pusat batik menjadikan banyak buruh dari luar Yogyakarta datang ke Kauman. Mereka diperkenankan menumpang (Jawa: ngindung) di sebelah utara kantor Kepenghuluan. Semakin lama semakin banyak buruh batik dari luar kota Yogyakarta yang menumpang di kawasan tersebut sehingga akhirnya terbentuklah masyarakat Ngindungan. Pengajaran buruh perempuan dilakukan Siti Walidah melalui pengajian agama yang diadakan sehabis mereka bekerja yakni ketika lepas waktu Maghrib. Olehnya mereka diajari pengetahuan agama, membaca, dan menulis. Tujuannya agar mereka bersikap jujur dan tidak merasa kecil hati karena menganggap diri mereka bodoh. Perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Maghribi School.

Terhadap gadis-gadis, Siti Walidah secara khusus menyediakan sebuah asrama (internaat). Dalam mendidik murid putrinya, Nyai Ahmad Dahlan menyampaikan petuah agar seorang istri berpenampilan sederhana dan tidak silau pada perhiasan sampai rela meminjam tetangga hanya agar terlihat cantik. “Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi! Apabila wanita itu minta bermacam-macam menunjukkan bahwa mereka miskin!” Pesannya kepada para santri putri. Keberadaan dua putri Siti Walidah, yaitu Siti Busyro dan Siti Aisyah, tidak menjadikan keduanya mendapat perhatian khusus. Semuanya dianggap setara. Siti Walidah kerap mengajak wanita agar tak sekadar bergantung pada suami, yang seringkali berujung pada kerugian bagi perempuan itu sendiri, apalagi saat ia ditinggal suami pergi ke luar kota.

Bagi Siti Walidah, asrama putri adalah medium pendidikan efektif untuk mengendapkan nilai-nilai kepada generasi muda. Anak-anak asrama diarahkan untuk mengenal lingkungannya. Ia tidak diperkenankan menutup diri dari masyarakat. Untuk kepentingan ini, dilakukanlah kunjungan ke panti jompo dan tempat pemeliharaan anak yatim.

Tidaklah sia-sia kiranya, murid-murid bimbingan Siti Wlidah menjadi pionir Aisyiyah, organisasi wanita di bawah bendera Muhammadiyah. Aisyiyah, yang embrionya muncul dari kursus, pengajian, dan sekolah untuk kaum wanita yang diadakan oleh Sopo Tresno, adalah bagian dari organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 1917, perkumpulan wanita ini berubah nama menjadi “Aisyiyah”, setelah sebelumnya diusulkan nama “Fathimah.” Terbentuklah perkumpulan wanita tersebut sebagai organisasi formal yang dikelola sendiri oleh kaum wanita dalam payung Persyarikatan Muhammadiyah. Menariknya, ketua pertama Aisyiyah bukanlah Siti Walidah yang notabene membentuk pengajian Sopo Tresno. Justru yang menjabat adalah Siti Bariyah, adik perempuan Haji Fachrodin. Fakta ini menandakan bahwa Aisyiyah didirikan dengan model kepemimpinan modern yang lebih mengutamakan profesionalisme.

Dalam Algemene Vergadering tahun 1921 di Yogyakarta, Siti Walidah terpilih sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah menggantikan posisi Siti Bariyah. Pada awal kepemimpinannya, di bulan puasa, Aisyiyah menyuplai muballighat ke kampung untuk memimpin Tarawih, mengadakan kursus agama untuk pekerja dan istri pegawai disana serta merayakan hari-hari besar Islam. Bersamaan dengan terbentuknya organisasi Aisyiyah, lahir budaya baru wanita dalam berpakaian. Kepiawaian Siti Walidah menyulam merubah ekonomi masyarakat Kauman. Ketika industri batik mulai redup, Siti Walidah mempelopori pembuatan kerudung. Kerudung model songket bergambar bunga (songket Kauman). Kerudung inilah yang menjadi ciri khas anggota wanita di Muhammadiyah. Aisyiyah sendiri juga turut memotori gerakan berkerudung bagi kaum wanita.

Dalam Algemene Vergadering tahun 1922, Nyai Ahmad Dahlan terpilih kembali sebagai ketua. Pada kepemimpinannya, perhatian besar tercurah khususnya ke persoalan pendidikan. Pada tahun 1922, Aisyiyah mendirikan Taman Kanak-kanak yang diberi nama Frobel School. Taman Kanak-kanak inilah yang di kemudian hari menjadi Bustanul Athfal. Sampai Kongres Muhammadiyah ke-15 yang digelar di Surabaya (1926), Nyai Ahmad Dahlan terpilih kembali menjadi ketua Aisyiyah.

Pengorbanan yang dilakukan Siti Walidah tak semata-mata terhenti pada raga dan waktu, namun juga materi. Siti Walidah dan suami rela melelang barang demi biaya operasional persyarikatan. Saat berlangsung lelang, K.H. Ahmad Dahlan berkata, “Ini Muhammadiyah perlu uang, perlu harta, untuk keperluan pendirian sekolah, bertabligh, dan sebagainya. Tetapi Muhammadiyah tidak ada uang. Maka agar keperluan itu dapat tercapai, saya akan melelangkan barang-barang ini, yang nanti hasilnya akan saya pakai untuk kepentingan itu…”

Kesibukan berdagang dan berdakwah yang tidak terbatas tempatnya membuat K.H. Ahmad Dahlan jatuh sakit. Anjuran dokter yang menyuruh K.H Ahmad Dahlan untuk beristirahat tidak digubris, ia justru membuka pengajian bagi pegawai beserta para tetangga di Tosari (Pasuruan). Alhasil, penyakitnya semakin parah.

K.H. Ahmad Dahlan menolak. “Mengapa saya harus beristirahat? Ajaib orang di kiri kananku menyuruh aku berhenti beramal. Tidak akan saya pedulikan! Dan mengapa sekarang kau sendiri ikut pula?” “Saya bukannya menghalangi beramal, tetapi mengharap kesehatan Kiyai. Karena dengan kesehatan, Kiyai dapat bekerja lebih giat di belakang hari…” Jawab Nyai Dahlan sambil menangis.

Tetapi K.H. Ahmad Dahlan bersikukuh, “Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang di belakang nanti untuk menyempurnakan!”

Umur K.H. Ahmad Dahlan memang tak panjang, karena tak lama sesudah itu ia wafat pada 23 Februari 1923. Sementara Siti Walidah tetap melanjutkan perjuangannya. Bahkan ia beberapa kali mendatangi cabang Aisyiyah hingga luar kota. Kunjungannya ke Batur, ia lewati menggunakan kuda, walaupun usianya telah menginjak 55 tahun. Nyai Ahmad Dahlan tetap menjalani aktivitasnya, meski sang suami telah tiada, sampai ia mulai sering jatuh sakit pada 1939. Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, di Yogyakarta sedang digelar sidang Majlis Tanwir. Mereka yang datang menyempatkan diri menjenguk. Pada saat itulah disampaikan wasiat K.H. Ahmad Dahlan, ihwal menjaga semangat hidup Muhammadiyah. Lantas, Siti Walidah berpesan menitipkan Aisyiyah sebagaimana suaminya menitipkan Muhammadiyah kepada kepada generasi penerus.

Tidak sampai berselang setahun setelah menyampaikan wasiat, pada 31 Mei 1946, Siti Walidah menyusul suaminya, mengambil tetirah abadi. Pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada istri K.H. Ahmad Dahlan yang telah mendidik dan membina wanita-wanita muda sebagai calon-calon pemimpin Islam. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/Tahun 1971 telah menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

Alamat

Jl. KH. Ahmad Dahlan Nomor 32, 55161, Yogyakarta
Telp/Fax: 0274-562171 | 0274-540009

Jl. Menteng Raya No. 62, 10340, Jakarta Pusat
Telp/Faks: 021-3918318

Jl. Gandaria I/1, Kebayoran Baru, 12140, Jakarta Selatan
Telp/Faks: 021-7260492