”Tanamkan kembali dan hayatilah betul-betul nilai-nilai pengabdian, dan kita mulai dari kalangan Muhammadiyah sendiri.”

(Siti Badilah)

Siti Badilah Zubair


Setahun tahun setelah mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan—Khatib Amin—terus mendorong para gadis di Kauman untuk masuk ke sekolah Belanda. Tiga gadis yang mengawali tradisi baru di kampung Kauman ialah Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah. Mereka masuk di Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Keberhasilan mereka diteruskan oleh generasi berikutnya, yaitu Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, dan Siti Badilah.

Perubahan besar telah dirintis oleh Khatib Amin. Reformasi pemahaman agama, terutama dalam memahami kedudukan kaum wanita, mendapat reaksi keras dari para ulama tradisional di Kauman. K.H. Ahmad Dahlan dituduh menjerumuskan wanita ke dalam kekafiran, sama seperti Belanda. Ketika K.H. Ahmad Dahlan sendiri murtad. Bahkan, ia dijuluki sebagai ”kyai palsu” atau ”Kristen alus.” karena dinilai membawa kerusakan bagi kehidupan wanita Islam di kampung Kauman.

K.H. Ahmad Dahlan menanggapi reaksi masyarakat Kauman dengan berusaha untuk menjaga ketujuh gadis tersebut. Olehnya, mereka dibina lewat kursus serta pengajian agama. Sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin-pemimpin wanita yang akan memajukan Muhammadiyah. Empat tahun kemudian, gadis-gadis Kauman yang telah mendapat pendidikan umum tergugah kesadarannya untuk merintis pergerakan wanita. Dalam sebuah pertemuan tahun 1917, mereka berdiskusi dengan para tokoh Muhammadiyah dalam rangka pembentukan organisasi pergerakan wanita Islam. Di antara para gadis Kauman yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Siti Badilah. Siti Badilah yang lahir di Yogyakarta pada tahun 1904 termasuk salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yang disiapkan sebagai pimpinan perempuan Islam.

Selain mengasah ilmu agama, ternyata K.H. Ahmad Dahlan seorang pendidik yang humanis. Di rumahnya disediakan berbagai macam alat permainan untuk anak-anak. Selama belajar dan mengaji di rumah K.H. Ahmad Dahlan, anak-anak dipersilahkan menyalurkan bakat dan hobi masing-masing, saja sesuka hati mereka dengan pesan, jika waktu shalat tiba, seluruh kegiatan bermain harus dihentikan. Karakter K.H. Ahmad Dahlan sebagai seorang guru yang humanis juga tampak dalam proses pengaji atau belajar. K.H. Ahmad Dahlan sangat memperhatikan anak-anak muda, terutama mereka yang memiliki karakter ngeyelan (kritis). Menurutnya, karakter ngeyel dipandang sebagai potensi kejiwaan yang positif. Selain pendidikan di Sekolah Netral, Siti Badilah mendapat pendidikan di MULO. Dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah (No. 13 tahun ke-59/1979), Siti Badilah mengatakan juga mendapat didikan dari guru-guru MULO yang progresif. ”Guru-guru pada masa itu betul-betul ahli sehingga segala pelajaran yang diberikan benar-benar terikat di otak para pelajar”, kata Badilah Zubair.

Setamat dari MULO, Siti Badilah sering mendapat tugas dari K.H. Ahmad Dahlan untuk bertabligh di kalangan kaum terpelajar, baik didalam maupun diluarr kota. Sewaktu Hoofdbestuur Muhammadiyah membentuk Bahagian Asiyiyah (1917), Siti Badilah masuk dalam struktur pertama sebagai penulis (sekretaris). Dalam Kongres Muhammadiyah ke-27 di Malang (1938), Siti Badilah dipercaya sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah. Begitu juga pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta serta Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto.

Suami Siti Badilah (Zubair) adalah misan dari K.H. Ahmad Dahlan. Anak-anak Badilah Zubair empat orang: Zahanah, Baroidah (meninggal dunia dalam usia delapan belas bulan), Wusthon (pensiunan ABRI dengan pangkat Mayor yang aktif sejak masa PETA), dan Arshan yang gugur ketika pendudukan Belanda di Yogyakarta.

Alamat

Jl. KH. Ahmad Dahlan Nomor 32, 55161, Yogyakarta
Telp/Fax: 0274-562171 | 0274-540009

Jl. Menteng Raya No. 62, 10340, Jakarta Pusat
Telp/Faks: 021-3918318

Jl. Gandaria I/1, Kebayoran Baru, 12140, Jakarta Selatan
Telp/Faks: 021-7260492