Kemampuan intelektual Siti Bariyah mengantarkannya menjadi penafsir tujuan gerakan Muhammadiyah dengan otoritas penuh. Hasil tafsirannya terbit pada 1923 dalam Majalah Suara Muhammadiyah nomor 9 berjudul “Tafsir Maksoed Moehammadijah”.

Siti Bariyah


Adik Siti Munjiyah ini menjadi sosok pertama yang dipercaya memimpin ‘Aisyiyah. Oleh Ahmad Dahlan, Siti Bariyah menjadi salah satu murid yang diminta belajar di sekolah umum. Sesuatu yang saat itu masih sulit diterima oleh masyarakat. Dengan latar belakang pendidikan tersebut, Siti bariyah dianggap memiliki kualitas ilmu dan kepemimpinan modern yang sesuai dengan semangat gerakan pencerahan Muhammadiyah. Kemampuan intelektual Siti Bariyah mengantarkannya menjadi penafsir tujuan gerakan Muhammadiyah dengan otoritas penuh. Hasil tafsirannya terbit pada 1923 dalam Majalah Suara Muhammadiyah nomor 9 berjudul “Tafsir Maksoed Moehammadijah”.

Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail lahir di Kauman pada 1325 H. Beliau merupakan satu dari tiga perempuan Kauman yang mengikuti pendidikan di sekolah netral. Sekolah milik pemerintahan Belanda yang saat itu masih menduduki Indonesia. Walau gagasan ini dapat penolakan dari warga yang antipati pada penjajah, Siti Bariyah berhasil menamatkan pendidikannya. Pada 1917, HB Muhammadiyah melalui rapat mengangkat Siti Bariyah sebagai ketua ‘Aisyiyah. Kepercayaan ini tidak datang serta merta. Siti Bariyah sejak awal aktif di pengajian Sapa Tresna yang tidak lain merupakan cikal bakal berdirinya ‘Aisyiyah. Selain keaktifannya dalam forum tersebut, Siti Bariyah yang berhasil tamat dari Neutraal Meisjes School ini dipercaya memiliki pemikiran modern yang bisa mengembangkan ‘Aisyiyah. Siti Bariyah memimpin ‘Aisyiyah dari tahun 1917 sampai 1920.

Diantara santri-santri perempuan KH. Ahmad Dahlan, Siti Bariyah paling sering diajak bertabligh di kantor-kantor pejabat pemerintah dan di sekolah-sekolah umum. Siti Bariyah memang dikenal memiliki kemampuan dan wawasan yang melebihi santri perempuan lainnya. Bariyah kala itu menguasa bahasa Belanda dan Melayu. Melalui kemampuannya ini, Siti Bariyah mendapat tugas menerjemahkan ayat Al-Qur’an yang dibacakan temannya Wasilah ke dalam dua bahasa tersebut. Model pengajian yang dijalankan oleh Siti Bariyah dan Wasilah ini konon menjadi daya tarik warga untuk berbondong-bondong mengikuti pengajian.

Setelah diangkat menjadi ketua ‘Aisyiyah, kiprah Siti Bariyah semakin menonjol. Tidak hanya di ‘Aisyiyah, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Bariyah diberi otoritas untuk memberikan penafsiran terhadap rumusan Tujuan Muhammadiyah yang saat itu dimuat dalam bentuk artikel di Suara Muhammadiyah dengan judul “Tafsir Maksoed Moehammadijah” edisi no 9 th. Ke 4 September 1923. Siti Bariyah juga terlibat dalam merintis majalah Soeara ‘Aisjijah pada tahun 1926. Satu tahun setelahnya tepatnya 1927, pada kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Siti Bariyah kembali terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah.

Selain aktif di organisasi, keseharian Siti Bariyah sama dengan kebanyakan penduduk Kauman menjadi saudagar batik. Beliau berbisnis batik dengan suaminya Muhammad Wasim putra K.H. Ibrahim yang tidak lain adalah adik dari Siti Walidah. Siti Bariyah meninggal setelah melahirkan Fuad dalam usia yang relatif masih muda. Sepeninggalnya, ketiga anak Siti Bariyah diasuh dan dibesarkan oleh Siti Munjiyah kakak kandungnya.

Alamat

Jl. KH. Ahmad Dahlan Nomor 32, 55161, Yogyakarta
Telp/Fax: 0274-562171 | 0274-540009

Jl. Menteng Raya No. 62, 10340, Jakarta Pusat
Telp/Faks: 021-3918318

Jl. Gandaria I/1, Kebayoran Baru, 12140, Jakarta Selatan
Telp/Faks: 021-7260492