107 Tahun ‘Aisyiyah Tegaskan Komitmen Dakwah Kemanusiaan
YOGYAKARTA – “’Aisyiyah Muhammadiyah tidak hanya berdakwah melalui mimbar tetapi melalui aksi nyata dalam bentuk dakwah-dakwah kemanusiaan.” Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah saat Konferensi Pers Milad 107 tahun ‘Aisyiyah pada Sabtu (18/5/24). Peringatan milad 107 dengan tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ini akan dilaksanakan di Univesitas ‘Aisyiyah Surakarta pada Ahad, 19 Mei 2024.
Salmah menyebut bahwa gerak dakwah kemanusiaan ‘Aisyiyah Muhammadiyah sudah dilakukan sejak awal berdirinya dengan pengajaran praksis al-Ma’un oleh Kyai Ahmad Dahlan. Nilai-nilai Praksis al-Ma’un ini terus menjadi semangat dakwah ‘Aisyiyah hingga kini di 107 tahun usianya dan hal ini sudah diakui bahkan oleh dunia internasional Dimana Muhammadiyah mendapatkan penghargaan Zayed Award for Human Fraternity pada tahun 2024.
Oleh karena itu Salmah menyebut pada peringatan Milad ‘Aisyiyah ke-107 tahun ini menegaskan kembali komitmen ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah untuk terus memperkokoh dan memperluas dakwah kemanusiaan semesta.
’Aisyiyah disebut Salmah akan memperkokoh peran-peran dakwah kemanusiaan dengan tidak kenal lelah melakukannya dan memperluas dengan meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak. “Agar apa yang dilakukan ‘Aisyiyah akan semakin dirasakan oleh masarakat luas dan akan menebarkan rahmatan lil alamin bagi semesta alam tidak hanya manusia tetapi juga makhluk lain.”
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa dakwah kemanusiaan ‘Aisyiyah di abad kedua ini juga semakin meluas termasuk di luar negeri. “Salah satunya dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak-anak yang lahir dari tenaga migran kita yang undocumented.” Tri menyebutkan terdapat ribuan anak-anak yang terabaikan hak-haknya termasuk dalam bidang pendidikan karena merka lahir di negara lain tanpa dokumen yang resmi. Kondisi ini kemudian menghambat akses mereka pada pendidikan. “Mereka mau sekolah di sekolah pemerintah karena tidak punya dokumen tidak bisa, mau sekolah di sekolah swasta tidak punya akses karena mahal,” terang Tri.
Kemudian Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah yang ada di luar negeri, terutama di negara dengan banyak pekerja migran Indonesia seperti Malaysia dan Taiwan menjawab permasalahan ini dengan membuka sanggar belajar. Para kader-kader ’Aisyiyah di luar negeri ini kemudian membuka titik-titik pembelajaran Dimana bahkan salah satu lokasi memiliki hingga 45 orang murid.
Masih terkait pendidikan, permasalahan perkawinan usia anak juga menimbulkan dampak pada terputusnya hak pendidikan anak. “Isu lain pada angka perkawinan anak yang tinggi di Indonesia, problemnya bukan hanya pencegahan tetapi anak-anak kita yang mengalami perkawinan anak ini sulit untuk melanjutkan pendidikan.”
‘Aisyiyah disebut Tri kemudian hadir dan bekerjasama dengan pihak terkait untuk mengatasi persoalan ini.
Kesejahteraan kelompok rentan seperti disabilitas juga menjadi bidang dakwah kemanusiaan ‘Aisyiyah. Salah satu yang menjadi perhatian ‘Aisyiyah adalah kenyataan bahwa dari 13 juta anak-anak dengan disabilitas hanya 5% yang lulus di mengenyam pendidikan hingga sarjana. Belum lagi tentang kesempatan kerja bagi disabilitas yang masih minim “Meskipun UU Disabilitas menyatakan bahwa pemerintah harus menyediakan lapangan kerja 2% bagi disabilitas dan private sector menyediakan 1% bagi disabilitas akan tetapi ini masih jauh sekali dari tercapai.” Oleh karena itu ‘Aisyiyah disebut Tri mengupayakan kegiatan untuk mendukung kesiapan kerja bagi disabilitas terutama bagi anak-anak disabilitas yang duduk di bangku SMA/SMK.
Dalam isu lingkungan, selain gerakan kelestarian lingkungan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim. Tri menyebut bahwa ‘Aisyiyah juga menyasarkan dakwah kemanusiaanya bagi perempuan nelayan dan perempuan petani. “Yang paling terdampak dari perubahan iklim ini adalah petani dan nelayan yang hidupnya dari alam. Dakwah kemanusiaan ‘Aisyiyah melihat mereka sebagai kelompok yang paling rentan sehingga pendampingan bagi petani dan nelayan adalah isu yg diangkat oleh ‘Aisyiyah untuk mengorganisir petani perempuan sehingga selain ekonominya meningkat mereka akan mendapatkan pengakuan identitas.” (Suri)