Fatwa Tarjih Tentang Pengeras Suara Masjid
Islam mengajarkan kita kelembutan dan Allah tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Ini tergambar dalam Q.S. al-A’raf ayat 55 yang memerintahkan agar berdoa dengan suara yang lembut karena Allah tidak menyukai sesuatu yang melampaui batas. Hal ini diperkuat dalam Q.S. al-A’raf ayat 205 yang memerintahkan agar tidak mengeraskan suara ketika menyebut nama Allah. Namun, dalam Q.S. an-Nur ayat 36 juga dijelaskan tentang kebolehan berzikir, berdoa, dan termasuk membaca al-Qur’an dengan suara nyaring.
Ketiga ayat ini nampak saling bertentangan namun sesungguhnya saling melengkapi. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa berdoa, berdzikir dan termasuk di dalamnya membaca al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh kemantapan iman, kekhusyu’an serta dengan suara yang pelan. Namun di sisi lain, Islam juga membolehkan seseorang untuk mengangkat atau meninggikan volume suaranya dalam batas-batas yang wajar dan tidak berlebihan atau melampaui batas.
Terkait dengan penggunaan pengeras suara, secara langsung tidak ada dalil yang melarang seseorang untuk membaca al-Qur’an dengan pengeras suara (speaker). Namun di sisi lain tentunya tidak sampai mengganggu kenyamanan dan kekhusyu’an orang lain dalam melaksanakan ibadah. Terlebih lagi di malam hari di saat orang lain beristirahat atau melaksanakan salat malam (qiyamul-lail), terlebih lagi masjid yang berada di tengah masyarakat yang heterogen baik dari segi keyakinan maupun agamanya. Oleh karena itu penggunaan pengeras suara hendaknya diatur waktu dan volume suaranya atau dengan mempertimbangkan penggunaan speaker bawah (dalam ruang), sehingga tidak mengganggu orang yang sedang beristirahat atau beribadah di rumah.
Kegiatan lain seperti membaca al-Qur’an sambil menunggu waktu salat, atau mengingatkan orang waktu imsak bagi yang hendak berpuasa (terutama di bulan suci Ramadhan) merupakan salah satu bentuk syiar yang hendaknya dilakukan dengan cara yang wajar dan tidak sampai mengganggu kenyamanan masyarakat termasuk mereka yang bukan beragama Islam, karena salah satu sifat ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu jangan sampai niat untuk syiar Islam, namun justru dalam praktiknya dapat mengganggu kenyamanan dan kekhusyu’an masyarakat.
Hal ini juga sering dikeluhkan pada bulan Ramadan, orang membaca al-Qur’an dengan pengeras suara luar hingga larut malam bahkan sampai tibanya waktu imsak, sehingga sangat mengganggu istirahat masyarakat yang tentu memiliki keadaan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Jika seseorang ingin membaca al-Qur’an hingga larut malam atau sampai tibanya waktu subuh, maka hendaknya tidak menggunakan pengeras suara luar atau dengan volume keras, agar tidak mengganggu kenyaman masyarakat untuk beristirahat maupun beribadah.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 dan Jilid 5 dijelaskan; membaca al-Qur’an dengan keras dan bernada tinggi yang akibatnya mengganggu konsentrasi atau kenyamanan orang lain untuk beribadah tidak dibenarkan. Bahkan berdoa dengan nada tinggi yang dapat mengganggu kekhusyu’an ibadah orang lain pun juga dilarang. Dalam kitab al-Madkhal, diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah melarang Ali r.a., yang intinya agar Ali r.a. tidak mengeraskan bacaan dan doanya, sekiranya orang banyak sedang mengerjakan salat, karena yang demikian itu akan mengganggu salat mereka.
Sedangkan menurut Ibnul ‘Imad as-Syafi’i, membaca dengan keras dan mengganggu orang-orang yang sedang salat di masjid itu dilarang. Bahkan para sahabat membenci perbuatan mengeraskan suara pada waktu berzikir dan membaca al-Qur’an, lebih-lebih di masjid, apabila sampai mengganggu ketenangan orang yang sedang beribadah.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud disebutkan:
“Dari Abu Sa’id [diriwayatkan] ia berkata; Rasulullah saw. beriktikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (al-Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (al-Qur’an) atau dalam shalatnya” [HR. Abu Dawud].
Dari penjelasan tersebut tentu idealnya bagi seseorang maupun pengelola (takmir) masjid perlu menyerasikan antara kegiatan yang bersifat ‘ubudiyah dan aspek sosial-kemasyarakatan, antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, serta menerima berbagai masukan positif dari masyarakat sekitar terkait dengan model pengelolaan masjid khususnya di lingkungan Muhammadiyah. Di sisi lain, masyarakat juga hendaknya memberikan masukan yang positif dan seobjektif mungkin demi peningkatan kualitas pengelolaan masjid-masjid Muhammadiyah.
Oleh sebab itu, takmir masjid harus terbuka untuk menerima masukan-masukan yang positif dari masyarakat sekitar, dengan merespon atau mencari solusi dan format yang ideal dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama dengan cara membuka ruang untuk bermusyawarah dengan cara yang bijaksana. Sehingga kesan dan penilaian positif masyarakat terhadap model pengelolaan masjid di lingkungan Muhammadiyah tetap terjaga.
sumber : muhammadiyah.or.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!