Darurat Filicide di Indonesia : Fenomena Pembunuhan Pada Anak oleh Orang Tua atau Keluarga Terdekat
Banyaknya kasus anak yang dibunuh oleh orang tuanya sangat memprihatinkan akhir-akhir ini, terutama selama bulan September 2024. Sebut saja kasus ibu membunuh anak di Bekasi, satu keluarga yang menjatuhkan diri dari apartemen di Pesanggrahan dan terdapat anak di bawah umur, kemudian satu keluarga meninggal dunia di Malang serta ayah membunuh 4 orang anak di Jagakarsa akhir tahun yang lalu, tentu saja masih banyak kasus yang belum tersebutkan yang terjadi tidak hanya di kota besar namun juga di berbagai pelosok tanah air. Selama bulan September 2024 sampai tulisan ini dibuat sudah 3 kasus orang tua membunuh anak. Di Kediri seorang ibu membunuh dua orang anaknya (4/9/2024), dua anak meninggal dunia. Kemudian seorang balita usia 14 bulan dibunuh oleh orang tua angkatnya di Bandung dan jasadnya dimasukkan ke dalam ember cat (9/9/2024). Serta kejadian seorang ayah tega membunuh anaknya berusia 13 tahun di Ternate, Maluku Utara dengan alasan karena anak keluar malam hingga dini hari (12/9/2024). Baru-baru ini terdapat kasus Ibu membunuh bayinya yang berusia 18 hari di Sumatera Utara (23/9/2024). Di bulan Agustus 2024 juga terdapat 4 kasus orang tua membunuh anaknya di Purwakarta, Kediri, Pontianak, hingga Bengkalis. Sungguh memprihatinkan.
Fenomena orang tua atau orang terdekat membunuh anaknya disebut dengan Filicide atau Filisida. Filicide adalah tindakan yang disengaja oleh orang tua untuk membunuh anak mereka sendiri. Kata filicide berasal dari kata Latin filius dan filia (‘anak laki-laki’ dan ‘anak perempuan’) dan akhiran -cide, dari kata caedere yang berarti ‘membunuh’. Kata ini dapat merujuk pada kejahatan dan pelaku kejahatan. Pembunuhan anak oleh orang tua (filicide) adalah salah satu jenis kejahatan yang paling menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi ketika seorang ibu membunuh anaknya daripada seorang ayah, karena kita berharap ibu tidak mementingkan diri sendiri dan mencintai serta melindungi anak-anak mereka dengan segala cara (Resnick, 2016: 203). Filicide digunakan sebagai istilah umum yang menggambarkan pembunuhan anak-anak oleh orang tua mereka, termasuk orang tua tiri. Ini mencakup neonaticide, pembunuhan bayi, dan filicide (Stanton, 2002: 1). Dalam lingkung kekerasan fisik, maka Filicide termasuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan anak sebagai korban.
Pola pembunuhan anak berbeda dengan pola pembunuhan untuk semua usia. Bayi yang dibunuh dalam 24 jam pertama hampir selalu dibunuh oleh ibu dengan jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan di antara para korban. Untuk bayi dan anak-anak yang dibunuh setelah tahun pertama, sedikit lebih banyak pelaku adalah laki-laki daripada perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayah tiri memiliki jumlah yang terlalu banyak untuk menjadi pelaku untuk anak-anak di bawah 5 tahun dan memiliki kemungkinan anak-anak 60 kali lebih besar dibunuh oleh ayah tiri daripada ayah kandung (Daly & Wilson, 1993), tetapi baru-baru ini dibantah oleh sebuah penelitian di Swedia yang tidak menunjukkan adanya kelebihan jumlah ayah tiri (Temrin,Buchmayer, & Enquist, 2000). Dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada anak, data di KPAI menunjukkan bahwa terlapor paling banyak adalah ayah kandung sebanyak 38 kasus dalam tahun 2023 (Pusdatin KPAI, 2024).
Fenomena filicide memiliki kategori-kategori yang disusun berdasarkan motif dibaliknya. Ada lima kategori filicide menurut Resnick sebagai berikut: Pertama, Altruistic filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak untuk mencegah penderitaan mereka. Kategori ini terbagi lagi menjadi dua yaitu Filicide–suicide, yaitu pembunuhan terhadap anak yang diikuti dengan bunuh diri orang tua dan filicide to relieve or prevent suffering, yaitu pembunuhan terhadap anak untuk mencegah penderitaan baik nyata maupun khayalan. Kedua, Acute psychotic filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak oleh orang tua yang menderita gangguan psikotik tanpa motif yang jelas dan disertai dengan gejala delusi atau halusinasi. Ketiga, Unwanted child filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak karena mereka tidak diinginkan, biasanya disebabkan oleh faktor tekanan finansial. Keempat, child maltreatment filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak yang terjadi akibat penganiayaan secara fatal. Keempat, Spousal revenge filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak sebagai bentuk balas dendam terhadap pasangan yang dipicu oleh faktor perselingkuhan atau perselisihan hak asuh anak (Arizal Primadasa, 2024).
Fenomen Felicide ini juga dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin pelaku. Jika pelaku adalah ayah kandung atau ayah tiri disebut Paternal Filicide biasanya dilatarbelakangi oleh masalah persoalan perkawinan, temperamen, kekerasan fisik, riwayat kriminal, dorongan kemarahan/emosional, balas dendam, dan persoalan ekonomi. Sementara jika pelaku adalah ibu kandung atau ibu tiri disebut dengan Maternal Filicide yang cukup menjadi perhatian secara luas, karena dibalik sosok ibu yang penyayang sampai tega melakukan perbuatan tersebut. Biasanya maternal filicide dilatarbelakangi oleh faktor stress, depresi, baby blues berlebihan, riwayat kekerasan fisik (pernah menjadi korban kekerasan suami), percobaan bunuh diri ataupun kurangnya dukungan sosial hingga faktor ekonomi terutama bagi perempuan yang hidup tanpa suami. Namun, terkadang Filicide dilakukan bersama antara suami dan istri.
Faktor Penyebab Filicida
Melihat latarbelakang dan berdasarkan jenis kelamin pelaku Filicide, secara umum hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut : Pertama, Kesehatan mental ibu/ayah, kondisi kesehatan mental orang tua menjadi kunci pemberian pengasuhan positif pada anak, bagaimanapun kondisi dan masalah yang dihadapi oleh keluarga, dengan sehat mental yang baik maka keluarga akan memiliki daya resiliensi yang baik. Kedua, Emosional dan faktor pemicu sesaat, sebagai contoh, sebagian besar kasus Filicida tanpa direncanakan, terkadang masalah pemicu bisa menjadi penyebab, dan hal ini karena emosional orang tua. Ada juga faktor dendam orang tua kepada anak atau cemburu orang tua kepada anak menjadikan penyebab orang tua membunuh anak, tentu saja hal ini karena faktor emosional. Ketiga, Komunikasi kurang efektif suami, istri dan keluarga, hal ini terkesan sepele namun ternyata jika dibiarkan terlalu lama akan menjadi persoalan, bisa jadi ada hal yang dipendam dan kurangnya kesamaan perspektif oleh suami dan istri dalam suatu hal maka bisa anak menjadi pelampiasan, terutama demi untuk mendapatkan perhatian pasangan. Keempat, Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah faktor yang sering muncul menjadi penyebab Filicide, terkadang ibu sampai membunuh anak karena pernah mengalami KDRT oleh suaminya. Kelima, Persoalan Ekonomi terkadang mengakibatkan orang tua melakukan pelampiasan persoalan pada anak, ada juga karena faktor ekonomi orang tua khawatir terhadap masa depan anak sehingga anak diakhiri hidupnya. Keenam, Kurangnya Dukungan Sosial baik keluarga atau lingkungan sekitar pada kondisi ayah atau ibu mengakibatkan mereka merasa sendiri dan melakukan perbuatan Filicide sebagai pelampiasan. Ketujuh, Pengawasan yang Lemah baik dari sesama pasangan atau pun keluarga besar sampai tetangga memberikan peluang bagi pelaku mengambil keputusan untuk melakukan Filicida kepada anaknya. Kedelapan, Lingkungan bermasalah baik dari lingkungan pergaulan hingga tempat tinggal mengakibatkan cara berpikir pasangan terkadang hanya berpikir seketika saja dan hal ini juga bisa dilihat dari lingkungan sekitar yang membuat ayah atau ibu memilih mengakhiri hidup anaknya sebagai salah satu solusi kondisinya saat ini. Kesembilan, Perkawinan Anak menjadi penyebab orang tua tidak siap untuk memiliki anak, sehingga ketika seseorang belum berusia dewasa dan sudah memiliki anak terkadang emosional masih labil, hal ini terjadi di beberapa kasus Filicida. Kesepuluh, Hambatan adaptasi bagi pasangan baru terutama bagi ibu sambung yang menikah dengan laki-laki dengan anak kandung, ataupun sebaliknya atau orang tua angkat. Beberapa kasus Filicida dilakukan oleh ibu tiri, ayah tiri, hingga orang tua angkat dari anak yang diadopsi. Persoalan adaptasi dengan unifikasi keluarga terkadang mengakibatkan seseorang memiliki adaptasi ganda yang harus dilakukan dalam satu waktu, seperti misalnya bagi pasangan sendiri menikah dengan pasangan baru memerlukan adaptasi tersendiri ditambah dengan adaptasi menjadi orang tua baru bagi anak yang mungkin sudah pernah memiliki memori dengan orang tua sebelumnya, atau adaptasi bagi pasangan yang melakukan adopsi terhadap kondisi anak yang diangkat. Tentu saja masih banyak faktor penyebab lainnya baik secara psikiatri sampai kriminalitas yang melatarbelakangi seseorang melakukan perbuatan ini.
Pencegahan dan Penanganan Filicida
Filicida pasti bisa dihindari dan tentu saja ini membutuhkan perhatian dan khusus, terutama bagi suami istri rentan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Saat ini diperlukan edukasi dan sosialisasi bahaya Filicida tidak hanya untuk pasangan yang sudah menikah, namun akan lebih baik jika diberikan kepada calon pengantin tentang bahaya kekerasan dalam rumah tangga hingga konsekuensi yang akan dialami. Bagi orang dewasa yang sudah mendekati usia menikah pun harus memahami Filicida dan berikut kekerasan dalam rumah tangga lainnya. Bagi pasangan yang sudah menikah pastinya ketika menghadapi masalah ada baiknya segera bisa sekedar berbagi cerita dengan pasangan ataupun keluarga besar, hal ini sebagai bentuk pentingnya untuk mendapatkan dukungan sosila dari oarng terdekat. Sebagai orang tua atau pasangan tentu saja quality time bukan hal yang diremehkan, sebab waktu kebersamaan dan upaya mencintai diri juga terkadang penting mendapatkan support. Menjadi orang tua berikut pengasuhannya memang tidak ada sekolahnya, hanya saja hal ini bisa dilakukan bersama sejak sebelum memiliki anak sehingga siap menjadi orang tua dan pengasuhan yang positif bisa diberikan kepada buah hati.
Jika Filicide terjadi tentu ada hal yang harus dilakukan selain penegakan hukum. Bagi pasangan yang melakukan Filicide sebaiknya mendapatkan pendampingan psikologis, begitu juga jika anak memiliki saudara. Pendampingan psikologis diberikan sebagai upaya pemulihan trauma dan kejiwaan, sebab bagaimanapun pelaku dan korban adalah orang terdekat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendampingan psikologis ataupun rehabilitasi harapannya pelaku dapat menyesali perbuatan dan disembuhkan jika ada gejala kejiwaan sebelumnya, sehingga tidak membahayakan orang lain.
Untuk penegakan hukum yang dilakukan menjadi wewenang aparat penegak hukum. Hanya saja bagi pelaku Filicida memang sebaiknya selain penahanan juga dilakukan pendampingan pskologis, terutama maternal filicide atau pelakunya ibu kandung atau ibu tiri. Dalam kasus Filicide tuntutan selain KUHP juga tentu melanggar Undang-undang No 35 tahun 2014 tengang Perlindungan Anak, Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jika terdapat unsur kekerasan seksual sebelum anak diakhiri hidupnya maka ditambahkan tuntutan Undang-undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan penambahan pelanggaran peraturan lainnya yang sejenis. Jika pelaku adalah orang tua, maka dalam undang-undang Perlindungan Anak jelas ditambahkan sepertiga hukuman, sebab hal ini melanggar Undang-undang Perlindungan Anak pasal 20 yaitu tentang tanggungjawab perlindungan anak.
Filicide dan lemahnya pelaporan
Filicide yang terlapor mungkin hanya ibarat fenomena gunung es, mungkin juga yang terlapor ini karena anak korban sangat jelas penyebab kematiannya. Namun perlu diwaspadai bentuk filicide halus lainnya yang bisa jadi pun dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dengan cara yang tidak ekstrem, seperti memberi racun atau bentuk lainnya dan hanya pelaku yang tau. Maka perlu menjadi perhatian bagi masyarakat, bahwa jika ada anak yang meninggal tidak wajar dengan tiba-tiba tanpa riwayat sakit sebelumnya ataupun gejala lainnya ditambah temperamen orang tua, maka perlu sekiranya tetap membawa anak ke Rumah Sakit untuk diperiksa penyebab kematiannya dan jika ada yang mengganjal maka tidak salah untuk meminta melakukan autopsi agar diketahui secara pasti penyebab kematiannya.
Fenomena filicide ini juga sedikit mengkhawatirkan dalam segi pelaporan, sebab pelaku adalah orang tua yang notebene nya adalah orang terdekat. Sehingga terkadang upaya penghapusan jejak dilakukan dan bahkan keengganan untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Maka sekali lagi peran keluarga besar dan tetangga untuk mendorong setiap kematian tidak wajar yang dialami seorang anak haruslah tetap dilaporkan.
Sebagai penutup tulisan ini, Filicide adalah fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang perlu diwaspadai, sepanjang tahun 2024 kasus ini hampir terjadi setiap bulan dan tentu saja sangat menyayat hati. Namun membiarkan filicida terjadi dengan dalih karena pelaku orang tua tetap sebuh kejahatan pada hak hidup seorang anak. Anak yang sudah meninggal dunia tetap memiliki hak, yaitu mendapatkan kejelasan penyebab kematiannya secara jelas sehingga anak yang sudah meninggal dunia tidak mendapatkan stigma negatif. Semoga tulisan ini mampu memberikan gambaran bahaya Filicide dan semoga tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi. (Oleh : Diyah Puspitarini | Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI))