Sistem Perlindungan Anak dan Perempuan dari Berbagai Tindak Kekerasan
Islam sangat memperhatikan semua umatnya, termasuk anak perempuan. Keberadaan mereka sebagai human resource sama pentingnya dengan laki-laki ataupun kelompok umur lainnya. Banyak tugas-tugas reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui yang diemban perempuan. Kejayaan umat islam dan juga keberlangsungan indonesia menjadi lebih baik salah satunya juga tergantung dari keberadaan generasi muda. Karena itu dengan melindungi perempuan dan anak sebagai generasi muda yang berbasis sistem adalah sebuah keniscayaan.
Catatan tahunan Komnas perempuan menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2013 berjumlah 279.760 kasus, 263.285 kasus diantaranya diperoleh dari perkara-perkara perceraian di pengadilan agama. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 216.156 kasus dimana 203.507 kasus diantaranya diperoleh dari pengadilan agama. Namun demikian jumlah ini masih jauh dari angka sebenarnya. Berdasarkan beberapa penelitian berbasis populasi di beberapa wilayah di Indonesia diperkirakan bahwa diantara 26% hingga 59% laki-laki pernah mealkukan kekerasan fisik dan atau seksual terhadap pasangannya. Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak melaporkan kasusnya,dan memilih diam atau bertahan dalam rumah tangga. Selain itu data menunjukkan bahwa tingginya angka perceraian diIndonesia sebagian besar dikarenakan terjadinya KDRT. Data Badilag MA sejak tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perkara dispensasi kawin. Sebagian besar permohonan dispensasi kawain tersebut, disinyalir terjadi karena anak hamil terlebih dahulu. Pernikahan usia anak dapat berakibat pada tidak terpenuhinya hak-hak anak, termasuk didalamnya hak-hak sekseal dan kesehatan reproduksi.
Laporan UNICEF Indonesia 2012 juga menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kerentanan. Pada tahun 2010, 55% anak balita tidak memiliki akta kelahiran. Hal ini berdampak pada resiko perdagangan anak, dieksploitasi secara seksual, dipaksa menikah sebagai anak dan dieksploitasi sebagai pekerja anak. Indonesia mempunyai sekitar 4 juta ank yang terlibat sebagai pekerja anak. Penyebab berbagai macam kekerasan, perlakuan yang salah, eksploitaasi dan penelantaran anak dan perempuan biasanya terkait antara elemen pemerintah, masyarakat dan keluarga. Karena itu penyelesaiannya akan lebih efektif jika secara berbasis sistem bukan berbasis isu.
Anak dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah walad, hal ini memberikan isyarat, bahwa anak perlu ditumbuhkembangkan baik aspek fisik maupun psikologisnya, misalnya dengan memberi ASI ketika masih bayi hingga umur dua tahun (QS. Al-Baqarah/2:233). Potensi dan bakatnya pun perlu ditumbuhkembangkan oleh orangtuanya dan para pendidik melalui proses tarbiyah (pendidikan). Pengertian tersebut berangkat pula dari kata wallada, juga bisa berarti ansya’a dan rabba (memunculkan. Menumbuhkan, dan mendidik). Dengan demikian tidaklah benar jika memahami anak sebagai manusia yang boleh dieksploitasi dan harus mengikuti kehendak atau kepentingan orang dewasa.
Sistem pelayanan perlindungan anak dimasyarakat seharusnya mencakup layanan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Layanan primer bersifat pencegahan dengan cara memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh untuk melindungi perempuan dan anak serta memastikan keselamatan mereka. Program untuk layanan primer misalnya kegiatan untuk mengubah sikap dan perilaku, kegiatan penyadaran akan dampak kekerasan dan lain-lain. Sedangakn layanan sekunder adalah layanan intervensi dini yang difokuskan pada keluarga yang mempunyai potensi masalah anak dan perempuan. Kegiatan untuk layanan sekunder diantaranya mengubah keadaan sebelum tindak kekerasan itu memburuk secara nyata pada anak perempuan. Misalnya dengan konseling dan mediasi dengan keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Layanan tersiear ditujukan pada perempuan dan anak mengalami krisis akibat pengakaaman yang dialaminya. Karena itu kegiatan kegiatan yang dipilih harus dapat membebaskan dari akibat buruk yang terkadang traumatik dengan melakukan pengawasan terstruktur dan memberikan layanan dukungan. Persoalan yang muncul dilapangan adalah kebanyakan program cenderung fokus pada rehabilitasi korban seringkali mengabaikan aspek pencegahan. Karena itu mekanisme identifikasi dini (layanan sekunder) serta program-program strategis untuk membangun sistem pencegahan (layanan primer) juga harus jadi perhatikan.
Beberapa aspek yang ikut berkontribusi pada terjadinya kekerasan perempuan dan anak diantaranya pemikiran dan legitimasi pemahaman agama yang bias kesetaraan (belum berkemajuan) dan menganggap bahwa anak tidak punya hak dan harus mengikuti kehendak dan kepentingan orang dewasa. Selain itu adanya sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga yang belum berjalan sebagaimana mestinya, sistem peradilan yang belum sesuai standar internasional, mekanisme yang belum mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat, kerangka hukum yang belum integratif dan belum kuatnya sistem data dan informasi.
Pemikiran dan pemahaman agama yang berkemajuan diantaranya meyakini bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah dan kholifatul di muka bumi ini. Perempuan mempunyai kebebasan tapi terbatas, karena kebebasan absolut hanya milik Tuhan. Laki-laki dan peempuan berbeda secara biologis, fisiogis, dan psikologis. Mereka sama dalam hal kemanusiaannya juga sebagai kholifah dan hamba Allah. Perbedaan mereka hanya fungsional bukan esensial dan tidak boleh berakibat yang satu bernilai leih dari yang lain. Tugas nafkah suami, karena istri sudah mempunyai tugas kodrati yaitu haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Pekerjaan domestik, pendidikan, dan publik itu bersama antara laki-laki dan perempuan. Dengan pemahaman seperti ini maka tidaklah pantas jika seorang suami merasa pantas untuk melakukan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi kepada istrinya. Demikian juga sebaliknya. Banyak KDRT yang didasarkan pada pemahaman bahwa suami mempunyai hak untuk memukul sang istri, padahal biasanya semakin dipukul maka akan semakin tidak menyelesaikan masalah.
Tradisi dan interpretasi agama tertentu terkadang berdampak buruk pada kekerasn perempuan dan anak. Seperti disebut diatas, terkait dengan hak memukul suami pada isteri, dan menganggap hukuman fisik pada anak sebagai suatu kewajaran. Bebrapa aturan ditingkat kebupaten terkadang tidak sejalan dengan hukum nasional serta kurang koordiansi dan ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab serta minimnya tenaga yang menangani perlindungan perempuan dan anak baik dilembaga Negara maupun masyarakat. Progresifitas hukum keluarga di Indonesia sedikit banyak memberikan peluang untuk melindungi perempuan dan anak lebik efektif. Selain keterbukaan pemikiran terhadap persoalan perempuan dan anak. Di organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah juga memberikan harapan akan terminimalisirnya korban kekerasan pada perempuan dan anak.
Sumber : Suara ‘Aisyiyah