Lima Indikator Penting untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Upaya mewujudkan kesejahteraan yang merata dan berkeadilan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar yang bersifat kompleks dan saling berkaitan. Untuk melihat gambaran utama keberhasilan maupun kesenjangan yang masih harus ditangani, diperlukan kerangka analisis yang lebih menyeluruh. Ada lima indeks utama yang perlu mendapat perhatian khusus: ekonomi, pendidikan, kesehatan, partisipasi politik perempuan, serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Jika kelima aspek ini dikaji secara mendalam, akan tergambar kondisi nyata kesejahteraan masyarakat dan kelompok mana saja yang masih tertinggal.
1. Ekonomi: Fondasi yang Masih Rapuh
Walaupun angka kemiskinan menurun, jumlah penduduk miskin secara absolut masih tinggi. Lapangan kerja formal yang terbatas mendorong banyak perempuan masuk ke sektor informal yang minim perlindungan sosial dan bergaji rendah. Kelompok yang bergantung pada sumber daya alam—seperti petani dan nelayan—kian rentan akibat perubahan iklim.
Pembangunan ekonomi ke depan harus memberi perhatian khusus pada kelompok marginal. Program pemerintah juga perlu berbasis data yang akurat dan inklusif, termasuk data kemiskinan, petani, nelayan, serta data terpilah gender dan disabilitas. Tanpa fondasi data yang kuat, program sering kali tidak efektif dan tidak tepat sasaran.
2. Pendidikan: Ancaman Putus Sekolah dan Perkawinan Anak
Di bidang pendidikan, angka putus sekolah masih tinggi, terutama di wilayah 3T. Perkawinan anak menjadi salah satu pemicu utama hilangnya akses pendidikan bagi banyak anak perempuan. Prinsip “no one left behind” menuntut sistem pendidikan nasional yang benar-benar inklusif serta responsif terhadap kelompok rentan seperti korban kekerasan, korban perkawinan anak, dan anak dari keluarga miskin. Pendidikan harus menjamin peluang yang setara bagi semua.
3. Kesehatan: Cerminan Kualitas Hidup Perempuan
Kesehatan merupakan indikator kesejahteraan yang penting. Indonesia masih mencatat angka kematian ibu (AKI) tertinggi kedua di ASEAN—sebuah fakta yang menggambarkan betapa rentannya kondisi kesehatan perempuan. Akses remaja terhadap layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) masih terbatas, sementara stunting tetap menjadi tantangan multidimensional.
Selain itu, kanker payudara dan kanker rahim masih menjadi penyebab utama kematian perempuan di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah pencegahan agresif, seperti memasukkan layanan deteksi dini (misalnya USG gratis) ke dalam jaminan BPJS sebagai investasi kesehatan jangka panjang.
4. Kekerasan terhadap Perempuan: Regulasi Ada, Implementasi Tertinggal
Walaupun Indonesia telah memiliki UU PKDRT dan UU TPKS, angka kekerasan seksual maupun KDRT masih tinggi. Hambatan terbesar adalah kesenjangan antara regulasi dan implementasi. Dari sebelas aturan turunan UU TPKS, baru dua yang diterbitkan. Kekosongan regulasi ini menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus.
Di sisi lain, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terus meningkat dan sulit ditangani karena payung hukum belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan penegakan hukum di ruang digital.
5. Partisipasi Politik Perempuan: Kuantitas dan Kualitas Sama-Sama Tantangan
Kuota 30% perempuan di parlemen belum tercapai. Lebih jauh lagi, kehadiran perempuan di ruang politik tidak selalu menjamin kepentingan perempuan diperjuangkan. Tantangannya bukan hanya pada jumlah, tetapi juga kualitas representasi. Diperlukan upaya sistemik untuk memastikan perempuan yang terpilih memiliki perspektif dan komitmen kuat terhadap isu-isu gender dan kelompok rentan.
Peran Strategis ‘Aisyiyah–Muhammadiyah
Menghadapi rangkaian persoalan di atas, ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah hadir dengan kekuatan khas gerakan akar rumput. Keduanya bekerja langsung di tingkat komunitas, memperkuat dakwah pemberdayaan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Program-program yang dikembangkan selalu berperspektif GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion).
• Ekonomi: pemberdayaan perempuan pelaku UMKM, kelompok disabilitas, lansia dhuafa, petani, dan nelayan.
• Pendidikan: PKBM untuk anak putus sekolah, korban perkawinan anak, serta masyarakat daerah terpencil dan kepulauan.
• Kesehatan: pemenuhan hak kesehatan reproduksi, pencegahan stunting, dan peningkatan layanan kesehatan perempuan.
• Penghapusan kekerasan: pengelolaan 109 Posbakum di berbagai wilayah yang memberikan pendampingan bagi korban.
• Partisipasi politik: mendorong perempuan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan hingga menduduki jabatan publik.
Dengan kerja kolaboratif dan fokus pada lima indeks kunci tersebut, cita-cita mewujudkan kesejahteraan yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh warga bangsa menjadi lebih mungkin diwujudkan. (Sumber : suaramuhammadiyah.or.id )
Oleh: Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, M.Si., Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah


