Positif tapi Toxic ?
“Sudah lupain saja, masih banyak loh yang ga seberuntung kamu. Harusnya kamu bersyukur.” atau “Bersyukur saja, bisa saja kamu alami yang lebih buruk, lho” pernahkah mendengar respon seperti itu dari sahabat kita ?Atau justru kita yang menyampaikan hal seperti itu kepada orang lain yang sedang curhat ? Mungkin maksud dari pesan tersebut adalah untuk memberikan semangat, namun tanpa disadari sebenarnya kata-kata tersebut merupakan kata toxic positivity.
Menurut dr. Jiemi Ardian dalam artikel yang berjudul “Tentang Toxic Positivity dan Dampaknya Pada Kesehatan Mental Kita” mengungkapkan bahwa toxic positivity merupakan generalisasi yang berlebihan terhadap keadaan bahagia dan optimis dalam situasi kehidupan yang bertujuan untuk menyangkal atau meniadakan penderitaan dan emosi seseorang. Tujuannya adalah untuk menyangkal dan meniadakan penderitaan yang sedang dialami.
Keadaan seperti ini bisa mengganggu seseorang karena selalu berfikir positif sebenarnya tidak mudah. Menurut hasil studi yang dilakukan pada generasi Z 90,7% dari 75 responden pernah mengalami toxic positivity (Jati et al., 2021).
Mengeluarkan emosi negatif seperti marah, sedih, kecewa dan sebagainya justru dibutuhkan manusia untuk mengenali setiap emosi yang ada dan dapat digunakan untuk mengenali diri untuk kemudian mengambil sebuah keputusan terbaik dalam hidupnya.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari toxic positivity adalah:
- Menerima emosi yang sedang dirasakan.
Terlihat sepele namun sebenarnya susah untuk dilakukan. Menerima setiap emosi baik itu senang, sedih, kecewa, marah dan sebagainya justru akan membuat seseorang lebih cepat tenang daripada harus membohongi perasaan sendiri. - Menyadari bahwa hidup memang tidak selalu tentang rasa bahagia
Penting untuk menyadari setiap manusia pernah merasakan emosi negatif dan itu wajar, karena emosi negatif adalah tanda bahwa itu perasaan manusia normal yang harus dirasakan setiap individu. - Menuliskan jurnal.
Menulis jurnal merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan perasaan, ini merupakan alternatif untuk seseorang yang tidak mudah mengungkapkan sesuatu dengan berbicara. Melalui cara ini seseorang juga tidak akan mendapatkan komentar yang malah membuat perasaan menjadi semakni terpuruk.
Supaya kita tidak menjadi seseorang yang toxic coba ganti kalimat positif yang menekan menjadi kalimat positif yang empati. Selain itu kita juga bisa memberi kata-kata yang membangun, bukan hanya memberi semangat atau perkataan positif namun juga memberi solusi atas permasalah seseorang. Contohnya:
- Ada masalah apa? Sini cerita, aku dengerin.
- Gapapa kalau melakukan kesalahan, itu wajar kok. Tapi yang penting adalah pelajaran yang kita ambil agar tidak terulang lagi kemudian hari.
- Masalahmu berat ya, yuk kita cari solusinya bersama !
(Maghfiroh Wulan)
Sumber:
Jati, P., Pangestu, Y., Aliifah, J., & CN, F. B. R. (2021). Pemahaman Generasi Z Terkait Pengaruh Toxic Positivity Terhadap Hubungan Sosial Individu. https://doi.org/10.31234/osf.io/9t5gy
Primastiwi, Emma. (2020). Tentang Toxic Positivity dan Dampaknya Pada Kesehatan Mental Kita. https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/tentang-toxic-positivity-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental-kita/
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!