Bangkitkan Kejayaan Islam di Bidang Ilmu dan Budaya
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam telah memberikan kontribusi langsung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Pengetahuan tersebut bukan hanya matematika atau kedokteran atau terkait pertanian dan arsitektur yang diserap Eropa dari dunia Islam akan tetapi termasuk prinsip dasar pemikiran ilmiah – observasi, eksperimentasi, penalaran induktif, dan verifikasi adalah semua elemen penting dalam kontribusi monumental Islam ke Eropa. Hal tersebut dikemukakan oleh Amin Abdullah, dalam Pengajian Ramadhan 1443 H Pra Muktamar ke-48 yang dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah pada Kamis (21/4). “Ketika budaya Muslim hebat dan unggul dalam ilmu dan budaya, maka keterbukaan adalah gambaran umumnya. Keterbukaan dan toleransi adalah gambaran umum dari peradaban yang hebat, unggul,” terang Amin.
Akan tetapi ia melanjutkan, kondisinya mengalami penurunan mulai abad 11-13. Dengan melemah-redupnya keunggulan pemerintahan Muslim pada akhir abad tengah, menghilang pula spirit Piagam Madinah dan spirit toleransi dalam dunia Muslim. Fase kemerosotan ini lekat dengan dimulainya krisis kebudayaan atau peradaban Islam.
Ketika ilmu pengetahuan tidak dikuasai, seringkali melahirkan budaya xenophobic atau anti liyan (rafdhu al-ghair) dan intoleran (karahiyyatu al-ghair). Fenomena kemerosotan ini sangat jelas dijumpai tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga ditemukan sekarang di Eropa dan Amerika juga. Intoleransi terlahir dari sikap pembangkangan terhadap ilmu pengetahuan.
“Ketika Muslim mulai mengalami kemunduran di era Modern, maka sikap Puritan dan berpegang teguh pada tradisi masa lalu membuka jalan untuk bangkitnya sikap intoleran juga,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini. Kemunduran pengetahuan dan kebudayaan Islam di abad modern dicontohkan oleh Amin salah satunya melalui peraihan nobel. Umat Islam dengan populasi sekitar 1,5 Milyar disebutkan Amin hanya tercatat 1,4% saja atau 12 orang yang daoat meraih Nobel. Selain itu, penguasaan sains di masyarakat muslim sangat rendah bahkan bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) ditakuti atau tidak disukai. “Ini tugas Islam berkemajuan untuk membangkitkan kembali agar kita kembali percaya diri dengan menguasai iptek,” tegasnya.
Lebih lanjut, mengutip pandangan Mohammad Arkoun, sebelum mengalami kemunduran, humanisme di dalam dunia Islam punya tiga pilar, yakni al-insiyyah al-diniyyah, al-insiyyah al-adabiyyah, dan al-insiyyah al-falsafiyyah-‘ilmiyyah. Artinya, umat Islam perlu mengunggulkan kembali nilai agama, akal pikiran, dan kemanusiaan universal.
Disebut Amin bahwa masyarakat terdidik percaya bahwa ilmu pengetahuan manusia berkembang dan tumbuh, namun sayang sekali seringkali dipahami bahwa (pemahaman) agama-agama, khususnya Islam, adalah mutlak, tidak dapat berubah dan dibalut-dibungkus dalam prinsip-prinsip transendental, dalam bentuk patokan dan prinsip Fikih dan Kalam yang rigid dan kaku. “Penganut agama-agama termasuk agama Islam tidak dapat bertahan terus menerus mempraktikkan sikap yang statis. Jika mereka bertahan mempertahankan sikap seperti itu, mereka akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip sains modern, bahkan akan tergilas oleh pengetahuan moderen jika itu terjadi.”
Amin juga menyebutkan bahwa untuk membangun peradaban yang maju maka perlu integrasi keilmuan serta dibutuhkan keterlibatan semua pihak baik laki-laki maupun perempuan. Bahwa perempuan harus ditempatkan sebagai partner in progress yang setara. “Integrasi ilmu menjadi penting. Cara kita berilmu tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama. Termasuk para perempuan harus punya keilmuan yang multi perspektif.” (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!