Perkawinan Anak Semakin Tinggi di Masa Pandemi, Kader ‘Aisyiyah Harus Terdepan Lakukan Pencegahan
Angka pernikahan anak semakin meninggi termasuk di tengah Indonesia menghadapi situasi pandemi Covid-19. Rupanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun bagi perempuan tidak bertaji mengurangi angka pernikahan usia anak. Titi Listyorini, Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Kabupaten Ponorogo menyebutkan bahwa angka pernikahan anak sejak 2020 ini meningkat cukup tajam dibanding kondisi sebelum Covid-19. Sebelum Covid-19 permintaan dispensasi perkawinan tercatat 97 kasus. “Pada tahun 2020, permintaan meningkat cukup tajam yakni 241 kasus dan 266 kasus pada 2021 dan ini merata di semua kecamatan,” ungkapnya.
Listyorini menyebut angka ini tidak boleh dianggap enteng karena angkanya semakin bertambah, belum lagi angka anak remaja yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) juga cukup banyak. “Status anak yang akte kelahirannya hanya ibu saja itu juga cukup banyak di Ponorogo hingga ribuan.”
Oleh karena itu, PDA Kab. Ponorogo dalam Kajian Islam Part 10 ini mengangkat tema Dampak Perkawinan Usia Anak dan Pencegahannya pada Rabu (2/2/2022). Diharapkan kegiatan ini akan meningkatkan lagi semangat kader ‘Aisyiyah Muhammadiyah untuk bersama mencegah pernikahan anak. “Mudah-mudahan dari kegiatan ini, apa yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat, sebagai pimpinan organisasi yang konsen pada pendidikan dan kesehatan perempuan dan anak bisa mengurai benang ruwet yang menjerat anak-anak kita dan ini juga menjadi permasalahan bangsa, mari kita bisa mencegah pernikahan anak yang semakin marak.”
Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa isu perkawinan anak adalah isu yang sejak tahun 1928 pada Kongres Perempuan Indonesia pertama sudah dibicarakan. Ini artinya sudah sejak lama isu ini menjadi perhatian dan hingga kini situasinya masih memperihatinkan.
“Data menyebutkan, di tingkat ASEAN, Indonesia menduduki peringkat ke-2 dan peringkat 8 dunia untuk kasus perkawinan anak. Kemudian 22 Provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional,” paparnya. Lebih lanjut, dampak perkawinan anak ini menurut Tri akan berbuntut panjang karena ketika terjadinya perkawinan anak tinggi maka akan berbanding lurus dengan angka kelahiran stunting yang ini tentu akan berpengaruh pada kondisi bangsa kedepannya.
Menyambung angka permintaan dispensasi perkawinan yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, Tri juga menyebutkan datanya secara nasional. Dimana dispensasi perkawinan anak terjadi peningkatan secara nasional di masa pandemi ini. Data Badan Peradilan Agama dan Mahkamahn Agung/ Badilag di bulan Januari-Juni 2020 mencatat bahwa permohonan dispensasi ada sebanyak 34.413 dan 33.664 dikabulkan oleh pengadilan.
Dalam kesempatan ini Tri menjelaskan mengapa kerja ‘Aisyiyah untuk pencegahan perkawinan anak ini penting. Yakni : Pertama, Lingkaran rantai kemiskinan. “Salah satu penyebab lingkaran rantai kemiskinan adalah pernikahan anak ini. Menikahkan anak itu bukan solusi,” tegas Tri. Ia menyebutkan banyak orang tua, yang berharap menikahkan anaknya agar mentas atau tidak menjadi beban keluarga, akan tetapi harapan ini tidak terlaksana karena nanti akan muncul anak dengan stunting, perceraian usia muda, dan anak yang tetap tidak bisa mandiri hingga menjadi beban keluarga.
Kedua, Masa depan generasi yang berkualitas : lost generation. Menurutnya angka pernikahan anak juga membawa dampak pada usia putus sekolah. “Bagaimana kita menyediakan lapangan pekerjaan untuk generasi yang unsklill yang tidak mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang baik ?” tanya Tri. Kondisi inilah yang akan membawa dampak kepada beban keluarga, masyarakat, sosial dan negara.
Ketiga, Angka Kematian Ibu di usia remaja. AKI di Indonesia masih sangat tinggi. Ini menurut Tri adalah kematian yang seharusnya bisa diusahakan untuk dicegah. “Kalau perempuan itu meninggal di usia muda karena penyebab fungsi biologisnya belum matang, maka itu jelas kita tahu ada risiko yang menyebabkan kematian ibu.”
Keempat, Angka Kematian Bayi. Karena kehamilan ibu berisiko, maka berdampak pada melahirkan bayi sebelum masa usia kehamilan atau bayi prematur. Selain itu, jika ibu mengalami kondisi kehamilan yang tidak dikehendaki, maka ibu-ibu itu tidak akan perhatian pada kesehatannya dan kesehatan bayi yang dikandungnya. Kondisi ini akan meningkatkan risiko kehamilan yang tidak sehat dan menjadi faktor penyebab angka kematian bayi.
Kelima, Kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). “Karena mereka menikah di usia yang sangat muda, pemikiran yang belum matang, sehingga memiliki peluang yang lebih besar terjadinya KDRT.” Menurut Tri, pada usia anak yang mereka masih senang bermain, maka berada pada situasi pernikahan membuat mereka harus bertanggung jawab pada keluarga, pada ekonomi keluarga, pada anak, pada istri, pada suami, ini dapat menimbulkan konflik dan berujung pada KDRT. Kemudian dampak Keenam, adalah tingginya perceraian pada perkawinan usia muda.
Oleh karena itu Tri mendorong agar segenap kader ‘Aisyiyah di berbagai tingkatan untuk dapat terus melakukan upaya pencegahan bagi perkawinan usia anak ini. Beberapa strategi disebutkan oleh Tri dalam melaksanakan upaya ini seperti sosialisasi tentang dampak perkawinan anak yang komprehensif terutama di daerah-daerah dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Edukasi masif tentang kesehatan reproduksi sejak dini, bersinergi dan mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh agama, kemudian melakukan advokasi dengan pemerintah setempat untuk memunculkan peraturan pencegahan perkawinan anak.
Tri menegaskan bahwa adalah hal yang penting agar kader ‘Aisyiyah menjadi tokoh yang berada dalam garis terdepan pencegahan perkawinan anak dan saling bersinergi dengan amal usaha kesehatan dan pendidikan dalam upaya ini. “Anak itu bukan semata-mata anak biologis kita, tetapi generasi mendatang itu semua adalah anak-anak kita juga,” tegas Tri. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!