Pemahaman Agama dan Kelayakan Usia Perkawinan
“Sering mendengar ucapan bahwa daripada mereka berzina lebih baik dinikahkan. Logika ini tidak tepat, karena kedua hal tersebut bukan sebuah hal untuk dibandingkan. Yang baik adalah tidak berzina dan juga tidak melakukan perkawinan usia anak.” Hal tersebut secara tegas disampaikan Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam Kajian Islam Part 10 yang dilaksanakan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ponorogo dengan tema ‘Dampak Perkawinan Usia Anak dan Pencegahannya’ pada Rabu (2/2/2022).
Dalam kegiatan yang berlangsung secara daring ini Tri menyebutkan ada enam faktor penyebab terjadinya perkawinan usia anak. Yakni faktor kemiskinan, pola asuh keluarga, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, tekanan sosial dan sikap permisif atas perkawinan anak, budaya dalam masyarakat, serta pemahaman agama yang keliru memaknai perkawinan anak.
Pada poin yang keenam, tentang pemahaman agama yang kurang tepat dalam memaknai perkawinan anak. Oleh karena itu, Aisyiyah Muhammadiyah dengan nilai Islam Berkemajuan terus melakukan dakwah, memberikan pemehaman yang benar dalam rangka pencegahan perkawinan anak. Tri menyebutkan , “Ini harus menjadi media edukasi kita, apa peran yang bisa kita lakukan menghadapi situasi itu, bagaimana menyuarakan Islam berkemajuan, Islam yang berpihak pada perempuan dan anak, agar sejahtera dan memiliki masa depan yang baik”
Beberapa hal yang menjadi alasan untuk melanggengkan perkawinan usia anak ini Tri menyebutkan adalah antara lain merujuk pada perkawinan Nabi Muhammad dengan ‘Aisyah r.a. Padahal ada hal-hal yang harus dipahami dengan baik tentang perkawinan ini. Di mana situasi ini adalah sebuah kekhususan Nabi. Kemudian, kitapun harus mengecek kesahihan hadis yang menyebutkan usia ‘Aisyah saat dinikahi Nabi termasuk tentang kredibilitas perawinya. Selain itu harus memahami konteks sejarah yang menyebutkan perbedaan usia antara Asma kakak dari ‘Aisyah dengan ‘Aisyah yang hanya berjarak sepuluh tahun.
Kemudian Tri juga menyebutkan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nur (24) ayat 32 yang memiliki arti : “Dan kawinkanlah orang-orang yan sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan.” Kondisi layak inilah yang menurut Tri harus dipahami oleh masyarakat. “Kelayakan perkawinan tidak hanya usia dan dewasa tidak hanya biologis yang ditandai dengan akil baligh, menstruasi, dan mimpi basah, tetapi juga kedewasaan dalam hal psikologis, sosial, dan ekonomi, karena dalam perkawinan itu bukan semata hubungan seksual, tetapi kompleksitas dalam perkawinan itu luar biasa sekali,” papar Tri. Selain itu juga harus diperhatikan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kemaslahatan bukan untuk kemudharatan. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!