Irfan Amalee : To Reach Peace, Teach Peace
“Salah satu ruang yang harus diisi adalah learning peace. To reach peace, teach peace. Untuk mencapai perdamaian harus melalui mengajarkan perdamaian.” Hal tersebut disampaikan oleh Irfan Amalee, tokoh perdamaian yang merupakan Cofounder Peace Generation juga Peacesantren Welasasih.
Berbicara dalam Seminar Nasional Membangun Perdamaian untuk Indonesia Berkemajuan yang diadakan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Sabtu (19/2), Irfan menyampaikan dua rekomendasi untuk menumbuhkan nilai perdamaian di keluarga dan komunitas. “Untuk menumbuhkan nilai perdamaian di keluarga dan komunitas, pertama suplai cerita perdamaian sebanyak mungkin, kedua pendidikan penuh welas asih atau cinta yakni disiplin positif yang menghindari kekerasan dan hukuman yang bersifat fisik. Dua hal ini yang bisa menjadi amunisi menyebarkan perdamaian di tingkat keluarga dan komunitas,” tegas Irfan.
Mengapa cerita perdamaian penting ? karena menurut Irfan semua berawal dari cerita. Bahkan ia mencontohkan untuk membuat orang yang menjadi radikal atau ekstrim itu juga membutuhkan cerita. Irfan menyebutkan dalam Qur’an cerita tentang jihad diulang sebanyak 41 kali dan biasanya yang diambil adalah cerita tentang jihad perang, padahal kurang dari seperempatnya yang menceritakan tentang jihad fisik atau perang. “Cerita jihad yang non perang jarang diangkat, padahal kebanyakan dalam al-Qur’an mengaitkan jihad dengan perjuangan melawan hawa nafsu dan setan,” terangnya. Kemudian cerita tentang perang Nabi yang sebanyak 27 kali tetapi cerita non perangnya jarang diceritakan atau sisi perangnya tidak diperlihatkan dengan jelas. Padahal disampaikan Irfan, dari 27 perang Nabi itu 15 diantaranya berakhir tanpa kontak senjata. Kemudian latar belakang semua perang pada masa Nabi adalah bersifat defensif seperti mempertahankan diri dari penyerangan, pengkhianatan perjanjian, dan karena pembunuhan diplomat. Selain itu, di dalam Al-Qur’an juga banyak ayat-ayat perdamaian yang sebenarnya menjadi penawar dari cerita perang tadi.
Irfan juga menyebut jika dihitung dari masa kenabian sebanyak 8000 hari, hanya 270 hari rata-rata atau 3% dalam kondisi perang yang artinya 97% dari masa kenabian Nabi Muhammad saw adalah kehidupan yang damai. “Tapi kenapa seolah-olah cerita perang yang dominan ? itu karena ceritanya lebih banyak disampaikan cerita perang.” Oleh karena itu cerita-cerita perdamaian harus disebarkan untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang cinta damai.
Lebih lanjut, Irfan juga menyoroti tentang pendidikan welas asih atau cinta yang harus diterima oleh anak-anak di keluarga maupun komunitas. Ia menyebutkan data dari UNICEF yang menyampaikan bahwa tiga dari empat anak di dunia atau sekitar 300 juta anak mengalami pola pendisiplinan yang mengandung kekerasan. Kemudian tiga dari lima anak di dunia atau sekitar 600 juta anak mengalami hukuman fisik dalam pendisplinan. Serta, satu dari empat orangtua di dunia atau sekitar 1.1 Milyar orang tua menganggap bahwa hukuman fisik penting dalam mendidik anak.
“Pola didik yang keras berkontribusi terhadap hampir sebagian besar kekerasan di dunia. Jadi jika kita ingin menemukan potensi kedamaian di keluarga kita harus menemukan kendala kenapa potensi itu tidak muncul yakni bibit bibit kekerasan di keluarga,” tegasnya.
Irfan menekankan juga bahwa mengajarkan perdamaian dimulai dari diri sendiri, kemudian menghapus prasangka di kepala kita tentang yang lain, dan menerima perbedaan. “Setelah memahami perbedaan kita ditantang dengan menyelesaikan konflik karena dengan memahami perbedaan belum tentu tidak ada konflik tapi kekerasan bisa dihindari.”
Untuk dapat menumbuhkan jiwa-jiwa yang memahami perbedaan maka Irfan menyebut perlu adanya ruang pertemuan. Hal tersebut karena di Indonesia ada banyak ruang homogen yang diciptakan seperti lingkungan yang homogen, tempat pendidikan yang homogen, pergaulan yang homogen, dan sebagainya. “Homogen itu sesuatu yang oke-oke tapi jangan sampai ruang homogen membuat pengalaman homogen yang terus menerus bagi anak-anak karena pengalaman yang terbatas akan memberikan kehidupan yang terbatas, toleransi yang terbatas, dan pemahaman empati yang terbatas,” terangnya.
Oleh karena itu Irfan dalam peace generation terus menumbuhkan dan menyebarkan duta-duta perdamaian yang sudah memahami mengenai perdamaian ke seluruh Indonesia. Adanya agen atau duta perdamaian adalah suatu hal yang penting untuk dapat menyebarkan perdamaian ke lingkungan terdekatnya. Ia juga melihat banyaknya potensi ‘Aisyiyah melalui para kadernya sebagai agen perdamaian di seluruh Indonesia. “Kalau kita bicara tentang ‘Aisyiyah itu agen perdamaiannya ada di mana-mana yang bisa mengubah Indonesia dan mewarnai Indonesia dengan perdamaian ditambah lagi kalau berkolaborasi dengan digital media,” tandas Irfan. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!