Gerakan Praksis ‘Aisyiyah, Keberpihakan Pada Kelompok Termarginalkan
YOGYAKARTA – “Gerakan praksis bukan praktik namun dilandasi nilai perjuangan dan menjadi aksi nyata seperti yang dilakukan ‘Aisyiyah dengan mendirikan amal usaha seperti universitas, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, posbakum, dan lain-lain.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah saat menjadi pemateri dalam Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Sabtu (23/3/24).
Gerakan praksis disebut Tri adalah gerakan yang dilandasi pada nilai yang kemudian bisa melakukan aksi mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin (IRLA). Salah satu landasan nilai bagi gerakan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah adalah nilai Al-Ma’un yang menunjukkan kepedulian pada mustadh’afin.
Kepedulian pada mustadh’afin ini disebut Tri juga perlu diperluas konsep dan maknanya dimana tidak semata-mata miskin secara ekonomi. Akan tetapi juga harus merespon problem-problem kemanusiaan yang terjadi. “Penting juga untuk menguatkan konsep GEDSI dan analisis interseksionalitas untuk melihat kelompok yang paling membutuhkan,” terang Tri.
Lebih lanjut Tri juga menekankan kepedulian pada kesetaraan laki-laki dan perempuan. Perempuan termasuk menjadi kelompok marginal karena bisa menjadi kelompok yang paling tidak memiliki akses. Terlebih perempuan disebut menjadi wajah dari kemiskinan karena data mencatat bahwa satu dari sepuluh perempuan berada pada garis kemiskinan.
Oleh karena itu untuk memperkuat gerakan praksis diperlukan perluasan penerima manfaat yang melintasi perbedaan identitas. “Yang harus dilakukan adalah melakukan analisis berdasarkan kelompok yang paling kurang beruntung dan kemudian mengembangkan model-model dakwah sesuai dengan kebutuhannya,” tegas Tri
Dalam melakukan praksis dakwah kemanusiaan ini Tri menyebut kader-kader ‘Aisyiyah harus memperhatikan enam prinsip yang ada yakni pertama, tidak top down, namun partisipatif, bagaimana program dibangun dengan partisipatif. Kedua, berbasis bukti atau ketersediaan data. “Hal ini seringkali diabaikan bahkan kita datang kepada kelompok dampingan dengan logika dan pikiran sendiri yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.”
Ketiga, penguatan nilai untuk membangun kesadaran. Keempat, mengembangkan model atau inovasi. Kelima, adanya kemampuan mendengar warga dampingan sehingga terdapat proses refleksi-aksi-refleksi. Keenam, merawat keberlanjutan. “Hal ini harus dilakukan agar apa yang sudah kita bangun bersama dapat terus berkelanjutan manfaatnya. Ini bisa dilakukan dengan penguatan local leadership, membentuk tim Qaryah Thayibah, juga melakukan advokasi ke pemerintah.”
Di akhir penyampaiannya, Tri juge menekankan pentingnya bagi kader-kader ‘Aisyiyah untuk melakukan pengelolaan pengetahuan. “Mencatatkan dan mendokumentasikan kerja-kerja dakwah praksis yang sudah kita lakukan sehingga menjadi jejak sejarah sehingga pengalaman-pengalaman perempuan yang sudah dilakukan bisa menjadi basis bersama berada di tingkat nasional, lokal dan internasional.” (Suri)