Muhammadiyah Ajak Bangsa Mencari Makna Substansial
YOGYAKARTA – Refleksi tidak boleh berhenti pada apa yang tampak di permukaan peristiwa. Refleksi harus menuntun manusia menemukan makna substantif di balik setiap kejadian.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Bedah Buku Sengkarut Sengketa Pilkada yang diadakan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah pada Jumat (19/12) di Aula Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Refleksi sebagai upaya bermuhasabah atas tindakan dan pilihan hidup selama ini. Ia menegaskan refleksi bertujuan memperbaiki arah kehidupan ke depan secara lebih bermakna.
Guru Besar Ilmu Sosiologi ini menjelaskan, refleksi dalam kajian sosiologi berkaitan erat dengan pendekatan kualitatif dan teori substantif. Pendekatan itu mendorong pencarian makna di balik peristiwa sosial.
Oleh karena itu, Haedar memandang setiap peristiwa menyimpan makna yang tidak selalu tampak di permukaan. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak pada fenomena yang bersifat dangkal.
“Intinya, pada sesuatu yang dicari meaningnya, sesuatu itu dicari maknanya. Di balik peristiwa, di balik permukaan itu ada meaning. Sesuatu yang di dalamnya bermakna, yang harus kita gali, yang kita tidak boleh terjebak pada fenomena permukaan. Di balik permukaan itu ada sesuatu yang substantif sebenarnya,” ujar Haedar
Pada kondisi sekarang, imbuhnya, masyarakat perlu melihat fenomena atau kejadian secara lebih bijak dan mendalam. Sebab terdapat kecenderungan masyarakat yang terjebak pada kedangkalan berpikir dalam hukum, politik, dan ekonomi. Ia menilai banyak orang hanya membaca persoalan dari sisi yang kasatmata.
Namun demiki, Haedar juga tidak menampik kemampuan berpikir dan daya cerna masyarakat terhadap sebuah fenomena memiliki tingkat tertentu. Maka untuk melihat kedalaman dari sebuah fenomena ini tugasnya kaum intelektual, mereka harus mampu membaca yang batin dari yang lahir.
Dalam refleksi kebangsaan, Haedar menyebut masa pascareformasi sebagai momentum membuka lembaran baru berbangsa dan bernegara. Ia menilai era itu seharusnya melahirkan tata kehidupan nasional yang lebih bermakna.
Melalui refleksi ini Haedar mendorong supaya negara harus berdiri di atas prinsip hukum yang kokoh. Ia berharap sistem dan penegakan hukum berkembang ke arah yang lebih adil dan konsisten.
“Dalam konteks ini, mudah-mudahan bahwa dalam dua dekade ini ada perkembangan yang positif tentang hukum. Di mana secara sistem hukum bisa berjalan dengan baik. Proses penegakan hukum bisa berjalan baik,” tegas
Sementara itu, MPM PP Muhammadiyah, M. Nurul Yamin menegaskan demokrasi tidak terpisah dari pemberdayaan masyarakat. Ia menyebut partisipasi, kemandirian, dan integritas sebagai fondasi demokrasi bermakna. Yamin menilai demokrasi sejati menempatkan masyarakat sebagai subjek penyelesai persoalan.
Pasalnya, demokrasi tidak bisa dilepaskan dari ikhtiar pemberdayaan masyarakat. Partisipasi, kemandirian, subjek, hingga integritas menjadi fondasi supaya berdampak sebenar-benarnya bagi kehidupan masyarakat.
“Pemberdayaan masyarakat sejatinya adalah upaya untuk mengangkat dan mengungkit potensi masyarakat agar memiliki nilai spirit partisipasi tidak apatis, memiliki spirit untuk menjadikan subyek untuk mengatasi masalah bukan menjadi bagian dari masalah,” tutur Yamin.
Irvan Mawardi menjelaskan bukunya mengulas sengketa dan diskualifikasi calon kepala daerah dalam Pilkada. Ia menyoroti keterbatasan ruang peradilan dalam menangani konflik elektoral. Ia mengangkat tema sengketa dan diskualifikasi calon kepala daerah karena ruang peradilan, menurutnya, memiliki keterbatasan dalam memperdebatkan putusan.
Kegiatan bedah buku menghadirkan narasumber dari DPR RI, KPU RI, akademisi, dan pakar hukum tata negara. Forum tersebut memperkaya refleksi publik tentang demokrasi, hukum, dan pemberdayaan masyarakat.


