Haedar Nashir Minta Masyarakat Bersikap Tasamuh Tanggapi Kemungkinan Perbedaan Idulfitri 1444H
YOGYAKARTA – “Perdebatan yang berkaitan dengan kemungkinan perbedaan Idulfitri 21 April dan 22 April, kami himbau untuk dicukupkan, lebih-lebih yang menyangkut debat kusir yang membuat kita saling menegasikan, saling merendahkan, saling membenci, bahkan menghina satu sama lain bahkan mungkin juga saling bermusuhan.” Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam Media Gathering, Silaturahmi Jelang Idulfitri 1444 H pada Selasa, (18/4/2023).
Jika terjadi perbedaan pendapat mengenai hari pelaksanaan Idulfitri maka Haedar meminta agar tidak terjadi debat kusir tetapi mempersilahkan untuk dibuka perdebatan keilmuan yang paling optimum. “Karena Islam itu sangat cinta ilmu dan ilmu tidak boleh dengan kekuasaan, ilmu harus terbuka, harus open minded,” ucapnya.
Haedar juga mengajak seluruh komponen bangsa untuk saling toleransi menanggapi jika terdapat perbedaan. “Jika betul-betul berbeda, maka baik elit, tokoh agama, tokoh Islam, umat, dan warga saling tasamuh, toleran, saling menghargai dan tidak kalah pentingnya mengambl sari hikmah, manfaat, dan nilai luhur puasa di bulan Ramadan dan Idulfitri serta rangkaian ibadah lainnya agar kita menjadi insan-insan yang lebih bertakwa.”
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jum’at 21 April 2023. Sementara itu jika menggunakan metode rukyat dengan kriteria MABIMS diprediksi dapat terjadi perbedaan Idul Fitri yang jatuh pada hari berikutnya.
Dalam menentukan waktu berdasarkan penanggalan hijriyah, Muhammadiyah menggunakan perhitungan hisab hakiki wujudul hilal yang memiliki pondasi kokoh yakni landasan atau pilar teologis, sains, dan praktis untuk memudahkan umat dalam menentukan agenda-agenda penting lainnya.
Pondasi pertama adalah landasan teologis dari Al-Qur’an maupun Hadis. Dalam Al Qur’an, tidak sedikit surat yang menerangkan tentang metode hisab untuk menentukan waktu, termasuk Hadis Nabi Muhammad saw.
Pondasi kedua adalah sains, bahwa Islam merupakan agama yang cinta pada ilmu. Wujud yang dipahami oleh Muhammadiyah sebagaimana konsep wujud itu, yaitu prinsip keberadaan. Hilal sebagai benda langit sangat bisa diamati melalui alat hasil atau produk ilmu pengetahuan.
“Bagi kami tidak bisa melihat dan tidak bisa tampak di hadapan kita belum tentu hilal itu tidak ada. Bagi kami konsepnya jauh lebih kuat jika konsepnya wujud atau ada,” ungkapnya.
Pondasi ketiga adalah praksis atau kemudahan, disebutkan bahwa dalam beragama Allah Swt menghendaki kemudahan bukan kesusahan. Kemudahan yang dimaksud oleh Muhammadiyah bukan yang pragmatis, tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama. Salah satu kemudahan yang didapatkan dari penggunaan metode hisab hakiki wujudul hilal, imbuh Haedar, umat akan lebih mudah menentukan rencana, karena penentuan waktu-waktu penting bagi umat Islam.
Muhammadiyah ingin di masa yang akan datang dapat terwujudnya kalender hijriyah yang berlaku secara global. Namun semuanya perlu proses dan waktu yang cukup panjang. Walaupun hal ini terwujud di masa generasi yang akan datang, Muhammadiyah akan terus berikhtiar. Terlebih masyarakat modern memerlukan kepastian.
Terlepas dari perbedaan metode ini Haedar meminta agar semua dapat saling menghargai. “Kami pun menghargai bagi saudara-saudara kita atau pun negara yang menganut metode lain,” ujar Haedar. Persis saat KH Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat pada awalnya mendapatkan pertentangan yang cukup keras, namun seiring berjalannya waktu ijtihad tersebut dapat diterima masyarakat bahkan Kementerian Agama pun melakukan sertifikasi tentang arah kiblat ini.
Oleh karena itu, penentuan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak hanya menyangkut kehidupan keagamaan umat muslim saja tetapi juga terkait kehidupan kebangsaan. Bahkan lebih luas lagi juga terkait dengan masyarakat dunia yang bukan hanya implementasi ibadah tetapi juga menyangkut urusan publik.
“Ketika perbedana itu terjadi, khusus bagi keluarga besar Muhammadiyah dan kaum muslimin yang menyelenggaraan Idulfitiri pada 2I April hari Jum’at dimohon tetap tawasud, tengahan, tidak perlu unjuk demonstrasi keagamaan maupun cara berbuka.” Lebih lanjut Haedar menekankan agar dapat bersikap bersahaja, biasa, dan normal. “Tidak boleh mentang-mentang sudah ber-Idulfitri lalu kurang menghargai yang masih puasa dan tidak boleh membikin pernyataan yang mengangu toleransi,” lanjutnya.
Haedar juga meminta adanya kebijaksanaan dari para pejabat dalam mensikapi perbedaan ini. “Baik yang 21 maupun 22, tunjukanlah uswah hasanah, kebijaksanaan, kearifan sebagai milik rakyat, milik smua golongan, insya Allah lokasi apapun jika dipakai untuk ibadah bahkan dua kali di suatu lokasi itu akan menjadi berkah Allah.
Acara yang berlangsung di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jl. Cik Ditiro, Yogyakarta ini turut dihadiri Ketua PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar, Agus Taufiqurrahman, Agung Danarto, dan Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!