‘Aisyiyah Kuatkan Mainstreaming Isu GEDSI dalam Program Organisasi
Mainstreaming isu GEDSI (Gender Equality Disability and Social Inclusion) menjadi fokus ‘Aisyiyah dalam pengelolaan program-program organisasi. Upaya tersebut tercermin dalam “Diskusi Penguatan Isu GEDSI : Lensa GEDSI dalam Pengelolaan Program” yang dilaksanakan pada Rabu (6/7/2022) di aula Kantor Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam sambutannya menyampaikan bahwa perspektif GEDSI sangat penting untuk didiskusikan dan yang harus diterapkan tentu adalah bagaimana pengelolaan program-program organisasi dalam perspektif GEDSI. “Mulai dari perencanan program sampai melakukan monitoring betul-betul kita menjalankan atau mengarus utamakan perspektif GEDSI ini. Kita tidak lelah belajar karena ini harus kita implementasikan dalam mengelola program organisasi,” tegas Tri.
Selain itu Tri juga menyebutkan bahwa nilai-nilai dalam Islam Berkemajuan juga harus menjadi rujukan dalam pengelolaan program. Hal ini karena menurut Tri, Islam Berkemajuan memiliki perspektif dalam fikih disabilitas dan dalam kesetaraan perempuan. “Nilai yang penting sekali bagaimana nilai-nilai dalam perspektif Islam Berkemajuan menjadi salah satu nilai kita yang harus menjadi referensi rujukan dalam mengelola program dan organisasi.”
Siti ‘Aisyah, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang berkemajuan (din al-hadlarah), yang kehadirannya membawa rahmat bagi semesta kehidupan. Islam juga menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemashlahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia.
Islam disebut Siti ‘Aisyah juga memiliki pandangan positif atau netral terhadap difabel. Hal ini tercermin dalam al-Qur’an surat al-Hujurat (Q.S. 49:13) bahwa kemuliaan, harkat, dan martabat manusia tidaklah diukur dari kondisi fisik ataupun materi, tapi dari ketakwaannya. “Jadi manusia itu sebenarnya makhluk spiritualitas, bukan sekedar makhluk materi atau fisik. Difabel bukan sebagai hukuman, bukan pula berkah karena ada orang difabel itu dimintai doa atau berkah, bukan juga mukjizat.”
Dalam Qur’an Surat ‘Abasa : 1-10, Siti ‘Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw diperingatkan oleh Allah Swt karena beliau memalingkan wajahnya dari orang buta. Ini menurutnya menunjukkan pandangan positif Islam kepada kelompok difabel. Selain itu dalam Qur’an surat al Baqarah : 282 terdapat perintah untuk melindungi difabel dalam transaksi perdagangan. “Ini menunjukkan al-Qur’an memberikan pengakuan bahwa difabelpun memiliki potensi.” Spirit al-Ma’un juga menunjukkan untuk memberdayakan dan memajukan yang yatim dan miskin dalam Qur’an surat al-Ma’un : 1-7. “Ada yang yatim dan yang miskin tetapi orientasinya juga pemberdayaan bukan sekedar karikatif. Jadi difabel jika ada yang terpinggirkan tidak ada yang mengurus itu sebenarnya masuk yang yatim, kalau kebutuhannya belum terpenuhi itu masuk yang miskin.”
Dalam acara yang dilaksanakan secara hybrid di aula Kantor Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ini Aisyah menyebutkan pendekatan yang Pertama adalah Pendekatan Karitatif. “Bukan sekedar penerima sumbangan dan yang perlu dikasihani tetapi menjadi kewajiban kita jika difabel memang membutuhkan maka harus dicukupkan kebutuhannya.”
Kedua, Pendekatan Medis. Bahwa jika dipandang sakit maka perlu diobati, jika diperlukan juga sebagai pasien diberikan rehabilitasi medik. Ketiga, Pendekatan Sosial. “Aisyiyah kan sudah punya panti asuhan ya, ‘Aisyiyah punya panti asuhan di Ponorogo yang sudah punya pusat pemberdayaannya jadi anak asuh di panti tersebut diberdayakan, bahkan mereka ada semacam workshop untuk batik dan sebagainya.” Difabel juga berpartisipasi penuh dalam kehidupan keluarga dan masyarakat luas termasuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan. Kemudian lingkungan fisik dan sosial yang ramah difabel, sarana yang ramah difabel, tempat-tempat umum yang ramah difabel.
Keempat, Pendekatan Hak Asasi Manusia yang memastikan difabel agar dapat inklusi secara penuh di semua aspek kehidupan. “Mengikuti seluruh aktivitas sekolah, keluarga, masyarakat, pekerjaan, dan aspek sosial lainnya. Kemudian menghasilkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesadaran tentang adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum, memiliki status yang sama dalam masyarakat dan dipercaya dalam mengatur sektor swasta.”
Purwanti dari SIGAB Indonesia menyampaikan bahwa Inklusifitas dalam program yang dilakukan organisasi menunjukkan bagaimana agar program yang direncanakan bisa diakses oleh orang dengan keberagaman termasuk dengan disabilitas. Oleh karena itu diperlukan rencana strategis program lembaga, identifikasi target sasaran dan mitra strategis, keberpihakan pada kelompok rentan, partisipasi penuh dan bermakna seluruh pihak yang berkepentingan, aksesibilitas dan akomodasi yang layak, tim pelaksana program dengan tim yang inklusif, dan nilai nilai dan kode etik.
Endah Trista Agustiana, Senior GEDSI Advisor Program INKLUSI menyebutkan bahwa perspektif GEDSI selayaknya mengalir sebagai energi sebagai sumber kehidupan dari sebuah program. Tujuan strategi GEDSI sebagai pedoman strategis menurutnya tercakup dalam lima hal. Pertama, mengintegrasikan GEDSI di semua komponen dan kegiatan program. Kedua, Membangun prinsip-prinsip kerja, proses-proses, dan kegiatan-kegiatan yang berbasis GEDSI. Ketiga, Menentukan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengintegrasikan GEDSI kedalam seluruh sistem dan proses program. Keempat, Pengembangan kapasitas internal dan mitra di bidang GEDSI. Kelima, Menguraikan proses untuk melakukan penelitian terkait GEDSI, pembelajaran dan berbagai pengetahuan. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!