Bersama Akhiri Kekerasan Seksual: Refleksi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2024
YOGYAKARTA – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan sekaligus menandai 30 tahun Deklarasi dan Platform untuk Aksi Beijing, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Program INKLUSI bekerjasama dengan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta sukses menggelar webinar bertema “Lindungi Perempuan, Ciptakan Ruang Aman, Akhiri Kekerasan Seksual di Kampus”, pada Selasa (10/12/24).
Webinar ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu kekerasan seksual, tetapi juga mendorong sinergi berbagai pihak dalam menciptakan budaya kampus yang aman dan bebas dari kekerasan.
Dalam sambutannya, Tri Hastuti Nur Rochimah, Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah yang juga merupakan Sekretaris Umum PP ‘Aisyyah, menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. “Kasus kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua. Melalui momentum ini, kita harus terus memperjuangkan ruang aman dan mendukung upaya pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di kampus,” ujarnya.
Tri juga menyoroti pentingnya peran semua pihak, termasuk organisasi seperti ‘Aisyiyah, yang hingga kini telah mendirikan 77 Pusat Bantuan Hukum (Posbakum) di seluruh Indonesia. “50% dari Posbakum ini telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ini adalah bukti nyata komitmen kami untuk terus berkontribusi dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,” tambahnya. “Semoga upaya bersama ini menjadi langkah nyata dalam membangun peradaban tanpa kekerasan,” tutup Tri Hastuti.
Mufdlilah, Wakil Rektor III Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, menegaskan relevansi tema webinar ini dengan kondisi di perguruan tinggi. “Sebagai institusi yang mahasiswanya mayoritas perempuan, UNISA berkomitmen menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seluruh sivitas akademika. Kami juga terus memperkuat sistem penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, berlandaskan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021,” jelasnya.
Indra Budiman Setiawan, Penanggung Jawab Isu Kekerasan Seksual, Tim Iklim Keamanan Satuan Pendidikan dari Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI menyampaikan bahwa kementerian telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, termasuk regulasi terbaru seperti Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024. “Regulasi ini menguatkan komitmen pemerintah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, bebas dari kekerasan, dan mendukung pengembangan karakter peserta didik,” ujarnya.
Ia juga memaparkan tantangan utama yang dihadapi, seperti normalisasi kekerasan seksual di masyarakat, candaan yang seksis, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara korban dan pelaku. “Masih banyak korban yang enggan melapor karena stigma dan tekanan sosial. Di sisi lain, pemahaman tentang konsep persetujuan juga masih minim,” kata Indra.
Ia menyampaikan data bahwa terdapat lebih dari 3.000 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama tahun 2023. “Meskipun jumlah laporan meningkat, ini menunjukkan bahwa semakin banyak korban yang berani bersuara. Ini adalah langkah awal yang harus kita apresiasi,” tuturnya. Menurutnya setiap laporan korban harus diterima dengan empati dan tanggapan yang tepat. “Ketika korban melapor, kita harus percaya dulu. Fakta-fakta selanjutnya akan membantu proses penyelidikan, tetapi langkah awal adalah memberikan dukungan moral kepada korban,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Yayi Suryo Prabandari, Ketua Satgas PPKS Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memaparkan langkah-langkah strategis yang telah dan akan dilakukan UGM dalam mengatasi isu krusial ini. Yayi menjelaskan bahwa UGM telah memiliki berbagai regulasi dan perangkat pendukung, bahkan sebelum terbentuknya Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Satgas PPKS UGM sendiri disebut Yayi mulai aktif pada 2021. Satgas ini bertugas menangani laporan kekerasan seksual dengan sistem terpadu, mulai dari pendataan hingga proses pendampingan korban. “Kami menangani kasus dengan respons cepat, dalam waktu 3×24 jam setelah laporan diterima. Prosesnya melibatkan tim pemeriksa dari fakultas atau unit terkait, yang dikoordinasikan oleh Satgas. Pendampingan juga disesuaikan dengan kebutuhan korban, baik berupa konseling, bantuan hukum, maupun perlindungan,” jelasnya.
Dalam hal pencegahan, UGM mengintegrasikan prinsip zero tolerance terhadap kekerasan seksual ke dalam konsep Health Promoting University (HPU). Pendekatan ini bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang sehat, aman, dan inklusif. Kampus juga mengembangkan berbagai media edukasi, seperti modul daring (MOOC), poster, hingga buku panduan “Relasi Sehat” yang akan segera diluncurkan. “Upaya pencegahan kekerasan seksual membutuhkan kolaborasi semua pihak. UGM berusaha memastikan bahwa setiap mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan memahami pentingnya menciptakan relasi yang sehat dan saling menghormati.”
Sementara itu, Tri Wahyuni Sukesi, Ketua Satgas PPKS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta memaparkan tantangan dan upaya penanganan kekerasan berbasis gender di lingkungan kampus. Ia menyoroti fenomena kekerasan berbasis gender secara online yang semakin marak, seperti revenge porn (penyebaran konten intim tanpa izin), cyber harassment (pelecehan daring), cyber stalking (menguntit secara digital), hingga morphing (manipulasi foto untuk tujuan negatif). “Banyak korban yang tidak menyadari bahwa tindakan ini adalah bentuk kekerasan seksual berbasis gender,” tambahnya.
Selain itu, Tri Wahyuni menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender kerap dianggap normal oleh masyarakat. Misalnya, candaan seksis atau tuntutan ekonomi dalam hubungan pacaran, seperti memaksa pasangan untuk memberikan sesuatu dengan ancaman emosional. Ia menegaskan bahwa hal ini merupakan kekerasan sosial dan ekonomi yang harus dihindari.
Lebih lanjut, ia juga membahas tentang berbagai tempat terjadinya kekerasan berbasis gender, termasuk di rumah, fasilitas umum, sekolah, hingga perguruan tinggi. Dalam upaya penanganan, Tri Wahyuni mengakui bahwa belum semua institusi pendidikan memiliki satuan tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang optimal. Sehingga ia menekankan pentingnya edukasi kepada mahasiswa mengenai berbagai jenis kekerasan seksual berbasis gender agar mereka lebih peka dan berani melaporkan kasus yang mereka alami atau saksikan. “Jika adik-adik mahasiswa menemui kasus seperti ini, baik dialami sendiri atau oleh teman, segera laporkan kepada pihak yang berwenang.” Ia menegaskan bahwa pencegahan kekerasan seksual memerlukan kerja sama dari seluruh pihak di lingkungan kampus. Komitmen untuk menciptakan ruang aman bagi mahasiswa dan mahasiswi menjadi langkah penting dalam memerangi kekerasan berbasis gender.
Afkari Zulaiha, Sekretaris Bidang Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY, menyampaikan pentingnya peran mahasiswa dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus. “Mahasiswa seringkali dianggap sebagai agen perubahan, namun suara mereka belum sepenuhnya diperhatikan. Padahal, kita memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan nyata di kampus,” ujarnya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh IMM DIY, tambah Akari, adalah dengan memasukkan isu kekerasan seksual dan kesetaraan gender dalam proses perekrutan anggota. Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran yang lebih kuat di kalangan mahasiswa sejak awal.
Afkari juga memaparkan langkah-langkah konkret yang telah dilakukan oleh IMM DIY dalam menangani kekerasan seksual, di antaranya adalah pembuatan standar operasional prosedur (SOP) untuk penanganan kekerasan seksual yang akan segera diluncurkan. SOP ini diharapkan dapat menjadi panduan yang jelas dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di lingkungan kampus.
Selain itu, IMM DIY juga mendirikan Pusat Studi Mernissi, yang fokus pada penelitian masalah gender dan kekerasan seksual. “Kami juga membuka layanan konseling bagi korban kekerasan seksual melalui konselor sebaya yang telah dilatih secara khusus,” tambah Akari.
Menurutnya, kampus harus menjadi tempat yang aman bagi setiap individu, dan mahasiswa dapat memainkan peran penting dalam mencapainya. “Perubahan ini bisa dimulai dari kita, mahasiswa, melalui diskusi, penelitian, dan advokasi yang melibatkan sesama teman sebaya.”
Acara ini dilangsungkan secara daring melalui Zoom Meeting dan YouTube, serta dihadiri lebih dari 1000 peserta dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, dosen, dan aktivis perempuan. Acara ini juga disiarkan langsung melalui YouTube untuk menjangkau audiens yang lebih luas, mencerminkan semangat inklusivitas dan kolaborasi yang diusung oleh ‘Aisyiyah dan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. (Rere/Suri)