Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Bahkan 22 provinsi memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam Workshop Analisis Kebijakan dan Implementasi Penurunan Perkawinan Anak dalam Perspektif GEDSI pada Selasa (19/7).
Dalam acara yang dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Program Inklusi ini Tri menekankan bahwa isu perkawinan usia anak harus menjadi perhatian bersama karena menjadi akar beberapa permasalahan Indonesia. Pertama, merupakan lingkaran rantai kemiskinan. “Ketika kita ingin memutus rantai kemiskinan salah satunya start from the girls, angka perkawinan anak akan membawa rantai kemiskinan yang akan terus berulang dan membawa masalah kita bersama.”
Kedua, perkawinan anak akan mempengaruhi masa depan generasi yang berkualita. “Akan terjadi lost generation, kita bisa kehilangan generasi kita, anak-anak kita akan kehilangan potensinya karena menikah di usia anak.” Tri menyebutkan bahwa semua anak memiliki hak dasar untuk mendapatkan pendidikan minimal hingga tingkat SMA. Akan tetapi jika terjadi perkawinan di usia anak kemungkinan terbesar anak-anak tersebut akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.
Ketiga, Angka Kematian Ibu (AKI) di usia remaja. Tri menyebut AKI masih menjadi PR bangsa Indonesia. Seorang ibu yang hamil di usia yang terlalu muda dan belum siap kondisi organ reproduksinya akan meningkatkan risiko kematian pada saat melahirkan yang mempengaruhi AKI di Indonesia. “Kenapa AKI menjadi tolak ukur? Karena di seluruh dunia, untuk melihat indikator sebuah negara sejahtera atau tidak yang digunakan adalah AKI, semakin tinggi AKI maka negara semakin tidak sejahtera,” papar Tri.
Keempat, Angka Kematian Bayi (AKB). Perkawinan usia anak menurut Tri juga menjadi penyumbang tingginya angka kematian bayi dan juga kondisi bayi yang lahir prematur. Masalah lain yang dapat muncul adalah pola asuh anak yang tidak semestinya karena anak-anak dilahirkan dari orang tua yang belum memiliki kesiapan dalam melakukan pengasuhan.
Kelima, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keenam, Perceraian pada perkawinan usia muda. Tri menjelaskan bahwa secara emosional tingkat kedewasaan menjadi hal yang penting dalam berkeluarga, akan tetapi jika membangun keluarga dalam ketidaksiapan maka akan banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya KDRT dan perceraian.
Oleh karena itu, strategi dan upaya yang dilakukan untuk mencegah perkawinan anak ini menurut Tri haruslah dilakukan secara masif dan dengan kolaborasi berbagai pihak. “Sinergitas para pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah, baik pemerintah pusat dan daerah, mitra pembangunan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta media adalah mutlak untuk mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak.”
‘Aisyiyah sendiri disebut Tri mempunyai komitmen yang tinggi untuk pencegahan perkawinan anak. Salah satunya dengan menerbitkan Buku Keluarga Sakinah dimana ‘Aisyiyah menekankan pentingnya konsep rusydan atau seorang memiliki kematangan atau kesiapan sebelum membangun rumah tangga dan melakukan perkawinan.
‘Aisyiyah juga mendorong adanya peraturan-peraturan desa untuk mencegah perkawinan anak. Ini menjadi potensi yang baik untuk mencegah adanya perkawinan anak yang diharapkan akan menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan generasi ke depan yang berkualitas.
Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen KPPPA) dalam pemaparannya menyebutkan bahwa secara global, data tahun 2019 menunjukkan bahwa satu dari lima perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2020 tercatat satu dari sembilan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Data ini menunjukkan bahwa problem perkawinan usia anak menjadi permasalahan global.
Sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rohika mengutip bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu kesiapan dan kematangan adalah mutlak diperlukan dalam sebuah perkawinan. “Perkawinan bukan romantisme belaka tetapi tujuannya membentuk rumah tangga yang kekal dan ini tidak bisa diwujudkan jika mereka masih berada dalam usia anak yang belum memiliki kematangan secara psikologis maupun fisik,” tegasnya.
Situasi perkawinan anak dijelaskan oleh Rohika akan membawa dampak yang sangat besar dan beragam seperti hilangnya kesempatan melanjutkan pendidikan WAJAR 12 Tahun, risiko kesehatan bagi ibu dan anak, dampak ekonomi yang berpotensi melahirkan pekerja anak, upah yang rendah serta meningkatnya kemiskinan, KDRT, KTA, risiko kesehatan mental, isu identitas anak, pola asuh yang salah ke anak yang dilahirkan dan sebagainya.
Akan tetapi dengan dampak yang beragam tersebut, nyatanya upaya pencegahan perkawinan anak menurut Rohika masih menemui banyak tantangan. Tantangan tersebut adalah terkait pola pikir serta perilaku masyarakat serta terkait penguatan kebijakan dan advokasi yang masih harus terus dimasifkan serta holistik dan intergratif.
“Cara terbaik untuk mencegah perkawinan anak adalah bergandeng tangan dan tidak sendiri,” ujar Rohika oleh karena itu ia sangat berterimakasih ‘Aisyiyah terus giat berkontribusi bagi upaya pencegahan perkawinan anak.
Agus Suryo Suripto, Kepala Sub Direktorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI juga menekankan pentingnya kedewasaan serta kesiapan dalam membangun keluarga. Oleh karena itu isu perkawinan anak juga menjadi perhatian dari Kemenag RI. Bahkan menurutnya perkawinan anak menjadi satu dari empat permaslahan besar bangsa Indonesia.
“Bagaimana dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal apabila usianya belum dewasa, bagaimana kita bisa menurunkan generasi berkualitas jika calon ayah dan ibu belum dewasa secara psikis dan fisik, bagaimana membentuk keluarga yang kekal jika alat reproduksi belum siap, mereka yang menikah di usia anak tidak mampu mengelola dinamika keluarga sehingga faktor kecil saja bisa memicu permasalahan,” ujar Agus.
Oleh karena itu isu perkawinan anak perlu menjadi awareness bagi orang tua, tokoh masyarakat, dan tokoh agama di lingkungan masing-masing bahwa pendewasaan usia kawin adalah makna filosofis untuk kesejahteraan keluarga itu sendiri.
Dalam upaya pencegahan perkawinan anak, Kemenag memandang perlunya penanganan dari hulu ke hilir. Oleh karena itu anak menjadi salah satu intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan self awareness. Hal ini dilakukan dengan melakukan layanan bimbingan bagi remaja, bimbingan pra nikah pemuda/pemudi yang belum menikah, bimbingan pra nikah bagi calon pengantin, bimbingan bagi keluarga muda dan bimbingan bagi pasangan suami istri.
Keterlibatan semua pihak juga menjadi perhatian Kemenag dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Melalui Bina Keluarga Sakinah Agus menerangkan bahwa keterlibatan tokoh dan organisasi masyarakat sangatlah penting oleh karena itu Kemenag selama beberapa tahun telah menjalin kerjasama salah satunya bersama ‘Aisyiyah. Ia berharap dengan menjalin kerjasama pesan Kemenag mengenai penguatan keluarga akan lebih banyak tersampaikan kepada mmasyarakat. “Ini kami pandang perlu karena tanggung jawab mengatasi pesoalan anak bangsa yang empat tadi adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab Kemenag saja tetapi tanggung jawab setiap kita yang menjadi bagian di masyarakat untuk melakukan peran masing-masing.”
Dalam kesempatan ini turut hadir Fitri Adhecahya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Kabupaten Maros. Fitri memaparkan praktik baik yang dilakukan oleh
DP3APPKB dalam upaya menurunkan angka perkawinan anak di Kabupaten Maros. (Suri)