GEDSI namanya saja yang asing, tetapi hakikat dari apa yang ada di belakang GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) sesungguhnya sudah dilaksanakan oleh ‘Aisyiyah Muhammadiyah. Hal tersebut dikemukakan oleh Dina Afrianti, peneliti di bidang hak-hak perempuan dan hak-hak disabilitas dalam masyarakat Muslim dari La Trobe University Australia dalam Seminar Nasional ‘Aisyiyah bertema ‘Perspektif GEDSI untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan dalm Kerangka Islam Berkemajuan’ pada Sabtu, 11 Juni 2022.
“Tentang bagaimana Muhammadiyah diawal pendiriannya oleh Kyai Ahmad Dahlan dimaksudkan menjadi sebuah gerakan untuk menghapus kemiskinan, menegakkan keadilan, menegakkan kesetaraan, bagaimana memajukan Islam dan masyarakat Muslim, itu juga menjadi inti dari belakang GEDSI,” ungkap Dina.
Dalam acara yang berlangsung secara hybrid tersebut Dina menyebut bahwa GEDSI adalah sebuah pendekatan, sebuah proses cara bekerja, cara menganalisa persoalan, cara mengidentifikasi, mencari jawaban persoalan tersebut, merumuskan bagaimana solusi yang kita tawarkan betul-betul mencapai tujuan sehingga permasalahan yang kita lihat bisa kita carikan jalan keluarnya.
Ada empat hal yang menurut Dina bisa diambil dari makna GEDSI. Pertama, Pemenuhan hak dasar bagi seluruh individu. “Kita sebagai bagian dari warga negara, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai bagian dari ‘Aisyiyah kita punya kewajiban bawa tidak ada seorangpun yang haknya tidak terpenuhi,” terangnya. Hak dasar individu dijelaskan Dina adalah tidak adanya orang yang hidup dalam balutan rasa takut, takut bsok tidak bisa makan, anak tidak sekolah, takut tidak mendapatkan layanan kesehatan di RS, dsb.
Kedua, Menghapus dan memberantas kemiskinan, keterpinggiran, diskriminasi, rasa tidak aman dan nyaman, ketakutan, dan pembedaan perlakuan. “Dengan perspektif GEDSI kita menjadi ingat dalam melakukan apapun kita tidak berkontribusi dalam pembentukan rasa takut tadi.”
Ketiga, Mendorong penguatan pemberian kesempatan dan kemanfaatan secara setara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Keempat, Perwujudan kesetaraan gender, inklusi, disabilitas sebagai konsep yang berkaitan, tidak berdiri sendiri, terpisah sehingga intervensi dan strategi untuk mengatasi ketidakadilan haruslah terintegrasi untuk mewujudkan inklusi sosial.
Dina juga menjelaskan bahwa di balik kata inklusi sosial terdapat makna keragaman, bahwa hal dasar bagi semua individu warga negara tak terkecuali dengan atribut yang berbeda berdasarkan gender disabilitas. Dina melanjutkan bahwa Muhammadiyah ‘Aisyiyah sudah melakukan semuanya. “Saya pernah melihat sebuah meme tulisannya gini jadi ada sebuah sekolah di Papua kalau tidak salah, anak Kristen sekolah di Muhammadiyah lulus tetap Kristen, saya sampai merinding membaca itu karena di situ sebenarnya apa yang menjadi cita-cita social inclusion, bahwa setiap orang berhak mendapatkan akses, Muhammadiyah sudah menyiapkan itu dan sudah memberikan kesempatan itu secara sama walaupun dia bukan warga Muhammadiyah walaupun bukan Muslim tetapi mendapatkan akses pendidikan yang negara belum dapat memenuhinya tanpa meminta siswa tersebut menjadi warga Muhammadiyah atau orang muslim,” terang Dina.
Disebut oleh Dina bahwa berdasarkan Qur’an surat al Hujurat disampaikan bahwa setiap orang dibedakan dari ketaqwaan, bukan warna kulit, bukan budaya, dari mana dia berasal, bukan karena abilitas bukan karena disabilitasnya. “Dengan menghargai keragaman kita sadar bahwa keragaman tersebut tidak boleh menjadi penghalang seseorang mendapat kesempatan atau mendapat akses di dalam dirinya sebagai manusia jika kita berpijak pada ini semua maka tujuan global no one left behind yang sudah menjadi itikad inti ajaran Muhammaidyah itu sama bahwa tidak ada beda, semua dirangkul, semua menjadi bagian dari apa yang kita kerjakan.”
Lebih lanjut, terkait mencari solusi dalam isu GEDSI Dina menyebut kegiatan yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah sudah merupakan upaya sistemik dalam memberikan solusi. Dalam konteks organisasi strategi dalam usaha memberikan solusi atas persoalan sosial yang ada dan memastikan pemenuhan kebutuhan kelompok yang berbeda yang diharapkan dapat memunculkan inklusi sosial.
“‘Aisyiyah menurut saya sudah sistemik, solusi yang diberikan sudah sitemik bukan hanya memberikan pemenuhan dan penguatan kepada perempuan tetapi sudah melakukan penguatan kepada kelompok disabilitas kepada anak apalagi dengan jaringan sekolah dari TK bahkan kelompok bermain sudah ada itu merupakan pemenuhan hak anak, jadi itu sudah sistemik solusinya, itu merupakan salah satu ciri pendekatan GEDSI.” (Suri)