Media massa akhir-akhir ini dibanjiri dengan berita kekerasan seksual yang seolah berebut muncul ke permukaan. Tentu saja apa yang kini tampak ramai diperbincangkan belum mewakili begitu banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang terjadi di masyarakat. Peran dan kontribusi berbagai pihak sangat diperlukan dalam pencegahan, penanganan, dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. ‘Aisyiyah Muhammadiyah sebagai juga turut mengambil peran terkait isu kekerasan seksual ini.
“Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dengan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar menolak dengan tegas berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual dan aktivitas seksual lain yang berdampak dan membahayakan terhadap perlindungan dan penghormatan martabat kemanusiaan, generasi, dan agama.” Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Atiyatul Ulya, pada Webinar Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Upaya Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak pada Selasa (25/1/2022). Atiyatul melanjutkan bahwa segala bentuk kekerasan seksual dan tindakan asusila yang bersifat seksual bertentangan dengan nilai agama maupun Pancasila dan kebudayaan luhur bangsa Indonesia. Sehingga menurutnya hal ini harus dicegah dan dilakukan tindakan tegas sesuai hukum dan sistem yang berlaku di negeri ini.
Pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dan juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra ini diharapkan mampu mensinergiskan kebijakan pemerintah terkhusus Kementrian PPPA, KPAI, dan program-program yang dijalankan Muhammadiyah-‘Aisyiyah dalam kondisi darurat kekerasan seksual saat ini.
Disebut oleh Atiyatul, Muhammadiyah ‘Aisyiyah telah melakukan berbagai ikhtiar dalam upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai bentuk kekerasan baik yang bersifat pencegahan, penanganan, maupun perlindungan. Berbagai langkah strategis telah dilakukan ‘Aisyiyah, antara lain sosialisasi konsep Keluarga Sakinah yang dilakukan kader-kader ‘Aisyiyah, penyuluhan hukum di komunitas, sosialisasi tentang pencegahan kekerasan seksual di komunitas dan sekolah, juga kampanye melalui media sosial.
‘Aisyiyah juga telah mendirikan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di berbagai Wilayah/Provinsi hingga Daerah/Kabupatan-Kota. Posbakum ini disebut Atiyatul melakukan sosialisasi hukum serta pendampingan bagi masyarakat umum. Salah satu yang dilakukan adalah pendampingan bagi masyarakat untuk melakukan pengajuan Isbat Nikah. “Ini juga merupakan permasalahan tersendiri, karena sebagian warga masyarakat kita belum memiliki akta nikah sehingga hak yang harusnya diperoleh sebagai warga negara itu tidak terpenuhi.”
Selain upaya pencegahan, ‘Aisyiyah Muhammadiyah juga melakukan upaya penanganan setelah terjadinya kekerasan. “Melalui Posbakum, ‘Aisyiyah memberikan layanan sesuai dengan yang dibutuhkan, seperti kita tahu korban itu membutuhkan layanan medis, layanan psikologis, spiritual, juga layanan hukum.” Layanan ini menurut Atiyatul diberikan dengan melibatkan sinergi seluruh Majelis Lembaga yang ada di ‘Aisyiyah sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Selain itu, ‘Aisyiyah juga bekerja sama dengan berbagai lembaga lainnya seperti Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (LazisMu) untuk memberi zakat bagi korban kekerasan seksual. ‘Aisyiyah juga bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk memberikan pelatihan paralegal bagi masyarakat terkhusus kader ‘Aisyiyah. Pelatihan paralegal ini menutur Atiyatul akan terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan paralegal ‘Aisyiyah yang memang sangat dibutuhkan di masyarakat untuk melakukan kerja-kerja pendampingan.
“Kami juga mengembangkan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak misalnya dengan Kemenkumham, Pengadilan Agama, dan Pemerintah Daerah untuk memberikan bantuan hukum terhadap para korban kekerasan seksual maupun kasus yang lain,” terang Atiyatul.
Isu kekerasan seksual yang tak kunjung mereda bahkan semakin bergulir panas ini berjalan beriringan dengan semakin ramainya pemberitaan terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Atiyatul menuturkan “RUU TPKS tadi sudah disampaikan juga sudah ditetapkan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada bulan ini di awal tahun. ‘Aisyiyah sudah melakukan kajian secara intensif terhadap RUU TPKS ini yang melibatkan dari Majelis Tarjih kemudian Majelis Hukum HAM dari PP Muhammadiyah dan Majelis Hukum HAM PP ‘Aisyiyah,” jelasnya.
Rencana masukan tersebut antara lain mengenai rumusan definisi kekerasan seksual yang masih perlu dikaji ulang, beberapa rumusan pasal hukum acara pidana masih sulit diimplementasikan di lapangan, ketentuan hukum acara pidana yang harus diperjelas terutama mengenai pembuktian dan saksi. Selain itu, Atiyatul juga menekankan mengenai belum adanya aturan terkait aktivitas seksual lain di luar pernikahan yang sah juga menjadi catatan penting.
Data Pengadilan Agama yang diterima dari beberapa Posbakum ‘Aisyiyah menyebutkan adanya kenaikan signifikan terkait pengajuan dispensasi usia pernikahan sebelum usia 19 tahun. Tren kenaikan ini diperkirakan mencapai 300% terutama setelah adanya revisi usia perkawinan dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974.
Disebut Atiyatul bahwa alasan yang diberikan untuk pengajuan dispensasi perkawinan itu ada dua hal utama, yakni pertama orang tua khawatir putra putri melakukan perzinahan. Kedua, karena sudah hamil sebelum melakukan pernikahan. “Alasan yang kedua ini paling banyak untuk alasan pengajuan, tentu ini sangat berdampak pada pernikahan usia anak dan tidak sedikit ketika dikabulkan mereka melakukan perceraian dan tentu ini melahirkan persoalan baru bagaimana kondisi anak yang sudah dilahirkan, kondisi orang tua tersebut, dan sebagainya.” Kondisi ini menurut Atiyatul adalah kondisi yang harus mendapatkan perhatian yang sama selain pada persoalan kekerasan seksual yang saat ini semakin banyak.
Kekhawatiran tingginya angka perceraian dan penelantaran anak di kemudian hari inilah yang menjadi mata rantai keterhubungan dengan kejadian kekerasan pada anak. Jasra Putra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang juga menjadi pembicara pada pertemuan virtual ini menyebutkan bahwa pelaku kekerasan anak terbanyak justru dari orang terdekatnya, antara lain ayah dan ibu kandung sendiri. Selain karena kondisi sosial dan ekonomi yang kurang mendukung, faktor lain yang turut mendukung adalah keterbatasan kemampuan dalam pengasuhan yang berawal dari rumah tangga yang kurang harmonis. Sehingga menjadi suatu kebutuhan diadakannya diskusi mendalam terkait RUU TPKS. Harapannya RUU TPKS ini kelak mampu mengisi kekosongan hukum di beberapa aspek terkait kekerasan seksual yang selama ini dirasakan. (Ulfi)