Bukan Semata Mother’s Day, Jangan Persempit Makna Hari Ibu
“Justru banyak perayaan yang dilakukan di Hari Ibu mendikotomi peran domestik dan peran publik perempuan dan bahwa seakan-akan Hari Ibu itu ingin mengukuhkan peran domestik perempuan.” Hal tersebut disampaikan oleh Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Tri sangat menyayangkan bahwa telah terjadi salah pemahaman bahwa Hari Ibu itu selalu dimaknai sebagai hari untuk menunjukan kasih sayang semata-mata bagi ibu biologis kita. “Ini sangat bagus ya bahwa ibu harus disayangi dan dihormati, namun bukan untuk menandai peringatan hari ibu setiap tanggal 22 Desember.” Ia mencontohkan dengan perayaan yang dilakukan sebagian besar terkait dengan lomba memasak juga merangkai bunga. “Kegiatan itu bagus, hanya saja kalau dalam konteks peringatan Hari Ibu itu tidak tepat karena justru pemaknaanya menjadi sangat sempit.”
Tri menyampaikan bahwa sejarah asal usul Hari Ibu adalah terkait dengan pergerakan perempuan Indonesia di masa awal sebelum kemerdekaan. Munculnya Hari Ibu menurutnya ditetapkan pada Kongres Perempuan Indonesia kedua pada tahun 1938 yang mengambil tanggal Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 sebagai Hari Ibu; dan dikukuhkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Presiden no 316 tahun 1953 sebagai Hari Ibu Nasional.
“Semangat Kongres Perempuan pertama itu kan sebenarnya untuk mengangkat derajat kaum perempuan, karena pada waktu itu banyak isu-isu perempuan yang dibahas antara lain tentang perkawinan anak, tentang poligami, kesamaan hak perempuan dalam pendidikan, hukum, dan politik yang masih belum sama di mana perempuan masih jauh tertinggal.” Kongres Perempuan Indonesia pertama tersebut menurut Tri menunjukan bahwa gerakan perempuan sudah bersatu beberapa bulan setelah pelaksanaan sumpah pemuda dan menunjukan juga semangat kebangsaan para perempuan untuk berjuang mengusir penjajah.
‘Aisyiyah yang juga berperan dalam kepanitiaan Kongres Perempuan pertama tersebut menurut Tri sangat mendukung isu-isu yang digaungkan oleh Kongres Perempuan. Ini terbukti dari pidato yang disampaikan wakil ‘Aisyiyah di kongres yakni Ibu Munjiyah dan Ibu Hayinah. “Ibu Hayinah berbicara mengenai persatuan perempuan, sedangkan Ibu Munjiyah berbicara mengenai bagaimana peningkatan derajat kaum perempuan salah satunya menolak poligami, menolak perkawinan anak, menolak nikah siri, dan sebagainya, itu kan menjadi isu yang sangat penting yang disuarakan kaum perempuan dalam kongres perempuan.”
‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim sudah sejak berdiri pada tahun 1917 memberikan kontribusinya untuk mengangkat harkat derajat perempuan dan masih terus berlanjut hingga kini. Isu-isu dalam bidang pendidikan, kesehatan ibu dan anak, pendampingan hukum, kesejahteraan sosial, juga pemberdayaan perempuan menjadi salah satu dari fokus gerakan dakwah ‘Aisyiyah tak terkecuali di masa pandemi Covid-19 ini.
“Dalam peringatan Hari Ibu dalam situasi Covid ini maka kemudian semangat kebangsaan, semangat untuk meningkatkan derajat kaum perempuan itu harus terus menjadi semangat dalam gerakan,” ujar Tri. Ia mencontohkan, dalam pemberdayaan ekonomi misalnya harus menjadi isu yang terus menerus didorong karena banyak sekali kemiskinan yang muncul dan kalau bicara kemiskinan maka kemiskinan itu adalah wajah perempuan.
“Saya kira ini salah satu PR kita untuk mengurangi gap kelompok kaya dan miskin, karena hampir separuh isu SDGS berbicara tentang perempuan dan perempuan termasuk pihak yang paling banyak terpengaruh climate change karena terkait dengan beban kerja bagi perempuan.” Tri juga menyebutkan masih tingginya angka kekerasan domestik dan kekerasan seksual, serta pemenuhan hak bagi perempuan masih menjadi isu dan PR besar untuk membangun kesadaran penting mengurangi kekerasan terhadap perempuan, selain itu Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia juga masih sangat tinggi sekali.
Selain itu, Tri menambahkan adanya tantangan bagi ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan berkemajuan adalah tantangan ideologi yang mulai banyak tumbuh di masyarakat untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik. “Ideologi ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam Berkemajuan di ‘Aisyiyah karena bagi ‘Aisyiyah laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan.”
Menurut Tri harus menjadi pemahaman masyarakat luas bahwa laki laki perempuan itu hanya dibedakan dari ketaqwaan dan ini sudah tergambar jelas di al-Qur’an surat Ali Imron. “Lewat ‘Aisyiyah Muhammadiyah perempuan dan laki-laki didorong untuk sama-sama mampu berbuat baik, menunjukan perannya di ranah publik, dan memberi manfaat kepada sesama.” Tri menegaskan bahwa masih banyak hal-hal yang harus menjadi perhatian guna mendorong kesejahteraan dan kesetaraan bagi perempuan dan ini harus menjadi refleksi kita dalam peringatan Hari Ibu tahun 2020. (Suri)