Dari Mimbar Bicara Pencegahan Perkawinan Anak: Transformasi Ustad Muhammad Kasim
Ustad Muhammad Kasim, seorang penceramah dari Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, awalnya dikenal masyarakat karena ceramah-ceramahnya yang membahas seputar tauhid, salat, dan materi keislaman lainnya. Namun, sebuah titik balik terjadi ketika ia mengikuti kegiatan Refreshment Peningkatan Derajat Kehidupan Perempuan dan Anak bagi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kolaka dalam Program INKLUSI ‘Aisyiyah.
“Waktu pertama kali ikut pertemuan refreshment, saya langsung tersentuh. Materi tentang perkawinan anak ini harus kita syiarkan kepada masyarakat,” ujar Ustad Kasim. Ia mengaku bahwa pertemuan tersebut membuka wawasannya terhadap berbagai isu yang selama ini jarang disentuh dalam dakwah, seperti perkawinan usia anak, khitan perempuan, hingga relasi setara antara suami dan istri.
Ustad Kasim menyadari bahwa praktik perkawinan usia anak membawa dampak besar, terutama bagi perempuan dan anak. “Banyak perkawinan yang belum cukup umur, lalu punya anak, tapi tidak mampu mengurus. Akhirnya, nenek yang harus mengasuh cucu. Ini harus dicegah.” Ia juga mulai memahami bahwa peran perempuan tak seharusnya terbatas pada “dapur, sumur, kasur.”
“Setelah ikut kegiatan itu, saya jadi punya motivasi kuat untuk mendorong perempuan agar bisa berkarya. Supaya perempuan Kolaka bisa mandiri dan tidak hanya mengurusi urusan domestik saja.”
Perubahan itu tidak hanya berhenti pada pemikiran. Ia mulai mengintegrasikan materi pencegahan perkawinan usia anak dalam setiap ceramahnya, baik di desa-desa di Samaturu maupun wilayah tetangga seperti Molo, Kolaka, dan Mala. Materi dakwahnya kini juga mencakup isu kesehatan reproduksi, edukasi pranikah, serta kesetaraan gender dalam rumah tangga.
“Insya Allah, setiap mimbar yang saya datangi, selalu saya sisipkan materi soal pernikahan di bawah umur dan khitan perempuan. Ini penting untuk diketahui umat.”
Namun, perubahan yang ia bawa tak selalu disambut hangat. Ia mengaku pernah ditolak saat ingin bekerja sama dengan KUA setempat untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan sebelum menikah. “Saya komunikasikan, tapi katanya bukan wewenang mereka. Kalau bukan kita yang menyampaikan, siapa lagi? Maka saya jalan sendiri.”
Isu seperti khitan perempuan pun kerap mendapat respons negatif. “Ada yang bilang kok ustad bahas yang jorok-jorok. Tapi saya tetap sampaikan dengan pendekatan agama yang benar. Kalau mereka memang ingin belajar, saya terbuka. Kalau tidak, saya pilih diam.”
Di tengah tantangan, perubahan nyata mulai terlihat. Menurutnya, angka perkawinan usia anak mulai menurun, dan perempuan-perempuan di desanya kini mulai memiliki aktivitas dan komunitas yang memperkuat peran mereka di tengah masyarakat. “Setelah adanya pendampingan dari ‘Aisyiyah, ibu-ibu mulai aktif, bahkan anak-anak stunting dan disabilitas pun kini diperhatikan.”
Ustad Kasim menyampaikan harapannya agar program ‘Aisyiyah dapat menjangkau lebih banyak desa dan melibatkan lebih banyak tokoh agama. “Semoga tim ‘Aisyiyah bisa berkembang dan rekrut lebih banyak penceramah. Supaya perempuan bisa punya karya sendiri dan kita bisa maju bersama. Perempuan bukan pelayan laki-laki, tapi partner.”
Melalui transformasi dakwahnya, Ustad Muhammad Kasim kini menjadi sosok religius yang tak hanya membimbing spiritual umat, tapi juga menjadi agen perubahan sosial yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan anak, sesuai nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.