Gelar Penguatan GEDSI, ‘Aisyiyah Dukung Media Perkuat Jurnalisme Inklusif
YOGYAKARTA – “Wartawan merupakan pilar keempat dalam membangun negara yang demokratis. Ketika banyak pihak tidak pernah membahas isu disabilitas yang terpinggirkan dan perempuan yang tertindas, jurnalis justru hadir untuk menyuarakan penderitaan tersebut.” Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam kegiatan Mainstreaming GEDSI di Media “Mengembangkan Jurnalisme Inklusif” pada Rabu (6/8/25). Kegiatan yang dilaksanakan oleh ‘Aisyiyah dalam Program INKLUSI ini diikuti oleh 95 jurnalis.
Tri yang juga Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa ‘Aisyiyah, sebagai organisasi yang memiliki kepedulian yang sama terhadap kelompok rentan dan isu-isu ketidakadilan, menyadari bahwa masih banyak hal yang perlu disuarakan. “‘Aisyiyah ingin menggandeng teman-teman jurnalis agar bersama-sama membangun tatanan yang lebih setara dan adil bagi semua pihak,” ucapnya
Lebih lanjut Tri berharap agar melalui kegiatan ini juga dapat terjalin kerja sama antara ‘Aisyiyah dengan rekan-rekan media dalam mengangkat berbagai isu ketidakadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. “Suara jurnalis lebih nyaring dan lantang untuk mewakili mereka yang tidak mampu bersuara, menyuarakan kebenaran adalah tugas mulia yang telah diemban oleh teman-teman jurnalis.”
Dalam kesempatan tersebut Tri menunjukkan bahwa diskriminasi bisa dialami oleh siapa saja dan dimana saja. “Diskriminasi sangat berkonteks dan tidak tunggal, bisa individu, kelompok, hingga negara terkait kebijakan-kebijakan yang diterapkan, hal ini tergantung pada dimana kita tinggal.”
Oleh karena itu menurut Tri, penting untuk bisa memastikan bagaimana memberikan kesempatan yang sama bagi semua dengan berbagai identitasnya. “Karena sebenarnya kelompok marginal inilah yang masih belum mendapatkan akses, manfaat, dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada sehingga harapannya pembangunan kita adil, setara, inklusif, dan berkelanjutan,” tegasnya.
Niki Alma Febriana Fauzi dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan bahwa realita masih menunjukkan bahwa sebagian umat Islam masih memandang perempuan dan kelompok disabilitas sebagai kelompok marginal sehingga masih terjadi diskriminasi, pelecehan, ketidakadilan sosial yang dialami.
Islam sendiri disampaikan oleh Niki adalah agama yang membawa rahmat bagi semua. “Rahmah ini termasuk kepada kelompok difabel, perempuan, kelompok rentan lainnya,” ucap Niki. Hal ini termuat pada berbagai ayat Qur’an maupun hadits-hadits Nabi.
Oleh karena itu menurut Niki, Muhammadiyah ‘Aisyiyah mencoba melakukan ijtihad isu-isu GEDSI agar masyarakat bisa melihat bahwa islam mempunyai pemikiran progressif. Untuk mendukung hal tersebut Niki mengharapkan peran jurnalis untuk dapat memberikan kontribusi dalam isu-isu GEDSI dengan menggaungkan atau menulis reportasi yang menggunakan perspektif GEDSI. Apalagi jika diberikan sentuhan keagamaan karena sebagian masyarakat Indonesia disebut Niki masih mendengarkan isu dengan perspektif keagamaan.
Sonya Hellen, Jurnalis Senior dari KOMPAS menyebut bahwa ada tiga pilar yang menjadi kekuatan jurnalis di lapangan untuk menguatkan jurnalisme inklusif yakni keberagaman perspektif, representasi yang adil, serta menghindari streotip dan bias.
Kemudian Sonya menyampaikan cara praktis dalam implementasi GEDSI dalam jurnalisme yakni pertama, bahasa yang respectful. “Terminologi bahasa yang kita pakai harus sesuai, tepat, dan tidak merendahkan karena kita sering terjebak di situ,” ucapnya. Kedua, Representasi berimbang yang memastikan semua kelompok mendapat porsi yang adil dalam narasi dan kutipan narasumber. Ketiga, dari objek ke subjek, Posisikan kelompok marjinal sebagai aktor bukan sekedar penerima bantuan, mereka juga punya hak untuk bicara.
“Karena itu supaya kita tidak terjebak, maka jurnalis perlu persiapan sebelum meliput,” ucapnya. Jurnalis perlu melakukan riset latar belakang dengan mempelajari konteks sosial budaya dan sejarah kelompok yang akan diliput. Siapkan pertanyaan yang respectful, hindari yang sensitif dan tidak menghakimi, pastikan keamanan dan privasi narasumber, terutama kelompok rentan.
Sonya juga mengajak rekan jurnalis untuk dapat menyajikan berita yang membuka kebenaran di balik berita. “Jika kita merasa aneh atas suatu kejadian, cari tahu behind the storynya, rumusnya cuma itu, cari tahu peristiwa dan latar belakang orang itu, anda akan tahu kebenaran.”
Menurut Sonya, jika hanya meliput peristiwanya, kita tidak akan tahu kebenarannya termasuk dalam jurnalisme inklusif ini. “Kalian akan temukan kebenarannya kalau kalian mundur satu dua langkah ke belakang, oleh karena itu jika menjadi jurnalis jangan liputan di laptop doang, kerja jurnalis adalah kerja otak dan kaki, kerja otak untuk selalu skeptif, tapi kemudian di balik rasa penasaran itu, disikap skeptif itu harus kita cari kebenarannya.” Menurut Sonya, mencari kebenaran tidak berhenti di balik laptop, perlu berjalan dan mencari orang-orang yang akan memberikan kita kebenaran. (Suri)