Ini Lima Karakteristik Ulama Perempuan ‘Aisyiyah
YOGYAKARTA – Ulama ‘Aisyiyah disebutkan oleh Ketua Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Mami Hajarah memiliki lima karakteristik. Hal tersebut dipaparkannya dalam kegiatan Cadre Chapter I : Pendidikan Kader Ulama ‘Aisyiyah, pada Senin, (30/1/2023).
Pertama, memiliki pemahaman Islam Berkemajuan. “Ketika bicara Islam Berkemajuan maka di dalamnya ada perempuan berkemajuan, maka ulama ‘Aisyiyah adalah ulama yang memiliki pemahaman perempuan berkemajuan yang saat ini sudah terbit dokumen risalaah perempuan berkemajuan yang harus dikaji lebih mendalam.”
Kedua, memahami Manhaj Tarjih. Ketiga, mengembangkan pemikiran Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Keempat, mampu berdialog dengan berbagai faham dan pemikiran (baik liberal, sekuler, dan konservatif). Kelima, mampu menggerakkan dakwah pencerahan.
Dengan memahami Manhaj Tarjih maka Mami menyebut para ulama perempuan ‘Aisyiyah akan mampu berdialog dengan berbagai paham dan pemikiran. “Ketika kita berdialog maka kita butuh modal yakni cara berpikir, maka dengan memahami bagaimana Manhaj Tarjih di Muhammadiyah, bagaimana cara berpikir dan cara membuat keputusan di Muhammadiyah, kita bisa berkomunikasi dengan berbagai paham dan pemikiran.”
Kemampuan yang perlu dimiliki para ulama perempuan ‘Aisyiyah ini disebut Mami akan menjadi modal tidak hanya mampu berdialog dengan berbagai paham dan pemikiran tetapi menjadi modal bagi kehidupan perempuan di tengah kehidupan yang majemuk. “Hal ini perlu dikuasai ulama perempuan ‘Aisyiyah sehingga dengan modal ini kita mampu berdialog dengan kelompok lain juga bagaimana kita bisa menjadi perempuan yang hidup di tengah bangsa Indonesia yang Pancasilais dan ber-Bhineka Tunggal Ika.” Semua kemampuan ini juga tentu akan mendorong para ulama ‘Aisyiyah untuk dapat melakukan dakwah pencerahan dengan kemampuan berdialog dan modal keilmuan yang memadai.
’Aisyiyah disebut Mami berpandangan Inklusi, terbuka atas pemikiran tetapi memiliki satu keyakinan. “Kita meyakini bahwa yang kita lakukan adalah apa yang diajarkan dalam paham Muhammadiyah sehingga disini kita perlu belajar banyak, bagi perempuan ‘Aisyiyah inklusi dimanapun berada tetapi tetap keyakinan itu satu yakni Manjah Muhammadiyah walaupun kita miliki banyak wawasan.”
Lebih lanjut, Mami menjelaskan bahwa peningkatan dan penguatan kader ulama perempuan ‘Aisyiyah akan terus menjadi salah satu fokus kerja Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Salah satu program yang diusung oleh kepemimpinan MPK pasca Muktamar ke-48 adalah melalui pelatihan kader secara berseri atau disebut dengan Cadre Chapter.
Mami menyebutkan bahwa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sudah melakukan banyak hal dalam pendidikan kader ulama perempuan salah satunya melalui Pendidikan Ulama Tajih Muhammadiyah. “Muhammadiyah sudah konsen dengan ulama sejak tahun 1968 yang ketika itu diawali dengan ulama laki-laki selanjutnya dikembangkan dengan membuka kelas putri, ini adalah salah satu bentuk perhatian Muhammadiyah terhadap pengembangan atau menumbuhkan kemampuan perempuan ‘Aisyiyah untuk menjadi ulama,” jelasnya.
Pendidikan bagi para ulama ini kemudian juga berkembang di kota lain dalam berbagai bentuk. “Kita tentu tidak merasa puas dengan yang sudah ada sehingga di program ini kita masih berkomitmen meningkatkan kapasitas ulama ‘Aisyiyah.”
Siti ‘Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Ketarjihan menyebutkan bahwa ulama adalah para perempuan yang menguasi ilmu pengetahuan khususnya tentang agama Islam dan pengetahuan lain. “Dengan bekal ilmu pengatahuan tersebut para perempuan ‘Aisyiyah menggerakkan perempuan untuk menjawab permasalahan prempuan yang ada.”
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah ‘Aisyiyah disebut ‘Aisyah memberikan bukti kepeduliannya bagi pendidikan para perempuan. “Seluruh aktivitas yang dilakukan ‘Aisyiyah dan pasti dilakukan oleh para ulama adalah melalui pendidikan yakni perempuan harus pintar, perempuan harus berilmu,” tegasnya. ‘Aisyah mengisahkan bahwa K.H Ahmad Dahlan bersama Nyai Walidah di masa awal berdirinya Muhammadiyah ‘Aisyiyah telah mendirikan sekolah dan forum kajian untuk perempuan di seluruh level baik perempuan yang sudah berkeluar dalam Sapa Tresno, para remaja putri dalam komunitas Wal Ashri, serta bagi para buruh dan pekerja rumah tangga yang mereka bekerja dari pagi sampai sore melalui Maghribi School.
“Nyai Dahlan melihat para perempuan ini memiliki hak pendidikan, maka ini diselenggarakan berbagai kelompok belajar,” ujar ‘Aisyah. Nama Maghribi School disebut Mami diberikan karena kelompok belajar ini dilakukan setelah waktu magrib yang menyesuaikan waktu para pekerja perempuan tersebut selesai bertugas. Berbagai istilah yang dikenalkan oleh ‘Aisyiyah pada masa itu disebut ‘Aisyah sudah menunjukkan wacana kemajuan.
Evi Sovia Inayati, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa ulama-ulama perempuan ‘Aisyiyah memiliki beberapa misi yang harus dilakukan. Antara lain membimbing umat Islam menuju khairu ummah atau umat yang terbaik. “Yakni umat yang memiliki pandangan yang berorientasi pada kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan, inovasi, kreatif dalam bingkai keimanan dan ketauhidan.”
Majelis Tabligh dan Ketarjihan disebut Evi memiliki kepentingan atas hadirnya ulama-ulama perempuan ini. Para ulama juga diharapkan mampu menjadikan umat yang moderat yang menghargai kemajemukan, toleransi, inklusifitas, kesetaraan, perdamaian yang kesemuanya menuju rahmatan lil alamin. “Para ulama juga harus mampu menghadirkan keunggulan yang diharapkan bisa memproduksi pandangan keagamaan yang menyikapi persoalan keumatan, kemasyrakatan secara luas khususnya persoalan anak dan perempuan.” Karena pentingnya peran dari ulama perempuan ini maka ‘Aisyiyah melakukan upaya yang terus menerus dan serius untuk melahirkan para ulama ini melalui pendidkan formal, pemberian beasiswa, serta membuka akses seluasnya bagi pada kader ulama ini untuk melanjutkan pendidikan. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!