Kebutuhan Religiusitas yang Mencerahkan di Era Disrupsi
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selenggarakan Pengajian Ramadan 1443 H, mulai dari 5 sampai 7 April 2022. Kegiatab yang dilaksanakan secara daring dan luring di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta ini mengangkat tema “Mengembangkan Religiusitas yang Mencerahkan di Era Disrupsi”.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam sambutan dan pidato iftitahnya di acara pembukaan pada, Selasa (5/4) menyebut bahwa pilihan tema tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam seyogyanya menghidupkan tajuk keislaman yang khas, sehingga isi dan tampilannya makin kuat sebagai Gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid dalam posisi sebagai organisasi keagamaan.
Pertimbangan kedua yakni terkait dengan adanya urusan besar dalam kehidupan umat manusia yang sedang menghadapi perubahan, ketercerabutan atau disrupsi akibat dari revolusi 4.0 dan teknologi informasi. Maka diperlukan penguatan aspek religiusitas Islam yang mencerahkan sebagai panduan kehidupan manusia.
Dalam pidato iftitahnya, Haedar menyebut bahwa kehidupan manusia sedunia saat ini sejatinya mengalami persoalan ruhaniah yang serius. Sejak era modern hingga postmodern dan disrupsi, problem kemanusiaan dengan berbagai dimensinya apa yang oleh Francis Fukuyama disebut “The Great Disruption”, yakni kekacauan hidup manusia yang dahsyat atau besar.
“Problem manusia modern era revolusi saintek justru terletak pada nalar instrumentalnya yang serba teknis, teknologis, dan pragmatis,” ucap Haedar.
Kemudian di tengah dunia chaos, anomali, dan kehilangan etika-spiritual global, kaum muslimin layak menyimak kembali pertanyaan Mohammad Iqbal, dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1930), “mungkinkah agama hadir?”.
Haedar menyampaikan bahwa peluang untuk kehadiran agama sangat besar. Ia mengutip sosiolog Bryan Wilson dalam “Religion in Secular Society”, bahwa pada masyarakat modern yang sekuler sejatinya masih terdapat tempat pada kehadiran dan pengaruh agama, sebab “masyarakat yang sepenuhnya sekuler belum ada”. Bagi Wilson, masyarakat sekuler kelihatannya tidak tergantung pada satu arah saja dalam mempertahankan pemikiran, praktik, atau institusi-institusi agama. Pada titik ini agama dapat berfungsi sebagai kekuatan kohesi sosial, meski kecenderungannya agama berkembang menjadi lebih pribadi sifatnya. Dominasi suatu golongan agama atau keagamaan akan
menurun seiring terjadinya proses domestikasi dan gerak sentrifugal organisasiorganisasi atau institusi-institusi keagamaan.
Bagi Haedar, Muhammadiyah saat ini penting hadir dengan pandangan dan isu-isu keagamaan yang mencerahkan, yang membangkitkan kesadaran keislaman yang “wasathiyah berkemajuan” sebagaimana pesan Allah “Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasatha litakunu syuhadaa ‘ala al-nas” (QS Al-Baqarah: 143).
Para pemeluk dan tokoh agama disebut Haedar harus hadir dengan keberagamaan yang hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya. “Para tokoh dan ulamanya menjadi suri teladan, bukan pengirim kegaduhan dan keresahan. Hidup damai, adil, tengahan, toleran, dan rendah hati menjadi budaya dan
perilaku luhur keseharian umat beragama. Sebaliknya terjauh diri dari segala perangai buruk, ekstrem, keras/garang, tidak adil, intoleran, semuci, dan ananiyah hizbiyah atau egoisme kelompok yang melahirkan wajah kusam dan anomali kehidupan beragama.”
Muhammadiyah lanjut Haedar, secara mendalam dan progresif sebenarnya telah memberikan jawaban atas problem kehidupan masyarakat modern yang mengalami perubahan dengan segala kecenderungannya dengan pemikiran beragama yang mencerahkan melalui deklarasi “Risalah Pencerahan”. Tanwir Muhammadiyah tahun 2019 di Bengkulu yang telah menghasilkan Risalah Pencerahan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!