LPPA PP ‘Aisyiyah Siapkan Strategi Penguatan Kader Perempuan Menuju Kepemimpinan di Lembaga Publik
YOGYAKARTA — “Yang dilakukan LPPA ini sebenarnya menjawab kegelisahan kami yang selama ini mengawal proses pengisian jabatan publik, terutama di lembaga negara independen.” Hal tersebut disampaikan Titi Anggraini selaku Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sekaligus anggota LPPA PP ‘Aisyiyah dalam kegiatan Madrasah Politik Perempuan bertajuk Workshop Pengembangan Program #SerialKader Berkhidmat di Lembaga Publik secara daring, Sabtu (10/4).
Acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Program INKLUSI ‘Aisyiyah diikuti oleh 92 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam paparannya berjudul “Lembaga-lembaga Publik Strategis yang Relevan dengan Isu Perempuan, Anak, dan Keluarga Multi Sektor,” Titi menegaskan pentingnya menyiapkan kader perempuan yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan integritas untuk mengisi jabatan publik.
Ia menilai, ada kecenderungan pengisian jabatan dilakukan tanpa memperhatikan kapasitas dan rekam jejak kandidat. “Seolah-olah hanya dengan modal berormas sudah cukup untuk menduduki jabatan di lembaga publik. Padahal yang dibutuhkan adalah kapasitas, kompetensi, dan integritas,” tegasnya.
Menurut Titi, menempatkan orang yang tidak kompeten justru dapat merugikan organisasi. “Buruk bagi Persyarikatan kalau menempatkan orang yang tidak memiliki kapasitas pada jabatan publik, karena nama baik organisasi akan ikut terbawa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Titi menjelaskan pentingnya memahami sistem dan proses seleksi lembaga publik. Ia mencontohkan, “Banyak calon yang gagal karena tidak memenuhi persyaratan formal, atau tidak menyiapkan portofolio dan rekam jejak yang relevan. Padahal CV menjadi instrumen penyaring pertama.”
Selain memenuhi syarat administrasi, Titi juga menekankan pentingnya membangun rekam jejak digital dan jejaring yang positif. “Perilaku di media sosial kini menjadi pertimbangan serius dalam seleksi jabatan publik, terutama di lembaga yang membutuhkan independensi,” jelasnya.
Titi juga menegaskan pentingnya calon-calon perempuan untuk hadir dengan narasi dan perspektif gender yang kuat. “Penting kehadiran perempuan calon dia mampu membangun narasi mainstreaming gender ,bahwa memang kehadiran dia di institusi itu akan berkontribusi memperkuat perspektif terhadap perempuan, anak, dan keluarga. ”
Titi sering menemui saat dirinya melakukan wawancara kandidat perempuan, perspektif ini tidak muncul. “Dia seolah-olah hadir di ruang yang netral. Kalau keberadaannya itu tidak digali lebih kuat maka tidak bisa memposisikan diri sebagai role model perempuan yang kompeten berintegritas dan berani bersuara,” singgungnya. Menurut Titi, calon perempuan perlu untuk memahami tentang interseksionalitas, memahami kerentanan ganda, dan peran perempuan yang mampu melahirkan kebijakan yang berdiri dari pendekatan yang komprehensif.
Sementara itu, Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Komnas HAM, dalam paparannya bertema “Strategi Organisasi/Persyarikatan untuk Mendorong Keterlibatan Kader Perempuan dalam Kepemimpinan di Lembaga Publik”, menekankan pentingnya peran organisasi dalam memfasilitasi kader.
“Organisasi tidak boleh apatis terhadap proses seleksi lembaga publik. Bahkan harus aktif, bukan hanya mempersilakan, tapi juga menghubungi kader potensial untuk maju,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar organisasi tidak justru menghambat kader yang berprestasi. “Kadang ada oknum di organisasi yang sulit melihat orang lain berhasil. Ini justru menghambat peran dakwah di lembaga publik,” kata Pramono.
Menurutnya, kiprah kader Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di lembaga publik merupakan bagian dari dakwah sosial yang berdampak luas. “Memang Muhammadiyah secara organisasi memilih dakwah dalam urusan urusan sosial, dan tidak kearah politik, tetapi politik tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Dan dakwah di lembaga lembaga publik itu Itu dampaknya itu kelihatan langsung dan dampaknya luas,” ucap Pramono. Hal ini menurut Pramono karena kiprah kader di Lembaga public dapat mempengaruhi kebijakan dan anggaran yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. “Apa yang dikerjakan kader di lembaga-lembaga publik itu pasti berbalik ke organisasinya, jadi jangan dilupakan itu juga bentuk dakwah.”
Pramono juga mendorong agar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memiliki basis data kader yang kuat. Muhammadiyah menurutnya mempunyai banyak kader potensial, tapi karena tidak punya database, akhirnya tidak siap ketika ada peluang. “Jadi ketika nanti waktunya tiba kita sudah siap. Jadi organisasi bukan sekedar menunggu tapi bahkan menghubungi orang orang tertentu untuk maju,” tegasnya.
Sementara itu, Alimatul Qibtiyah, selaku Komisioner Komnas Perempuan 2020-2025 dan Sekretaris LPPA PP ‘Aisyiyah membagikan pengalaman sebagai kader ‘Aisyiyah yang kini menjadi Komisioner Komnas Perempuan.
Dalam materinya berjudul “Pengalaman sebagai Kader yang Menjadi Komisioner di Lembaga Publik dan Identifikasi Materi Penguatan Kapasitas yang Diperlukan,” ia menegaskan pentingnya kesiapan spiritual, mental, dan profesional bagi kader perempuan yang akan berkiprah di lembaga publik. “Menjadi pejabat publik itu ladang pengabdian yang lebih luas. Di situ kita bisa mengamalkan nilai-nilai Islam berkemajuan dalam skala nasional, bahkan internasional,” tutur Alimatul.
Ia menyebut pengalaman di lembaga publik sebagai bentuk amal jariyah institusional. “Kehadiran kita mewakili ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah, mendorong lahirnya kebijakan yang adil dan pro-perempuan. Itu bagian dari dakwah yang berdampak panjang,” ujarnya.
Namun, ia juga tak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi. “Kita akan berhadapan dengan sistem birokrasi yang lambat dan penuh tarik-menarik kepentingan. Setiap tindakan kita disorot dan dituntut sempurna,” katanya.
Karena itu, menurutnya, integritas adalah hal utama. “Walaupun ada godaan, tekanan, atau fitnah, kita harus ingat bahwa malaikat Raqib dan Atid selalu bersama kita. Itu yang menjaga kita tetap lurus dan teguh,” tegas Alimatul.
Ia juga menguraikan sejumlah hal yang harus disiapkan oleh kader perempuan yang ingin berkhidmat di lembaga publik. “Pertama, luruskan niat bahwa jabatan adalah bentuk ibadah dan pengabdian, bukan popularitas. Kedua, bangun spiritualitas sebagai kompas moral, dan ketiga, siapkan resilience — tahan banting terhadap kritik, tekanan, dan kegagalan,” jelasnya.
Menurut Alimatul, kader ‘Aisyiyah juga perlu membangun sistem pendukung yang kuat. “Libatkan keluarga, anak, suami, dan sesama kader sebagai tim inti. Komunikasi menjadi kunci agar kita tidak berjalan sendiri,” pesannya.
Kegiatan Madrasah Politik Perempuan ini menjadi bagian dari upaya LPPA PP ‘Aisyiyah memperkuat kapasitas kader perempuan agar mampu berperan strategis di lembaga-lembaga publik. Melalui sinergi program #SerialKader Berkhidmat di Lembaga Publik, ‘Aisyiyah berkomitmen melahirkan lebih banyak perempuan berintegritas yang membawa nilai Islam berkemajuan dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan. (Suri)