Pekarangan ke Perubahan: Kisah KWT ‘Aisyiyah Nanggomba di Tikonu
Dalam rangka mendorong pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak kelompok rentan, ‘Aisyiyah melalui Program INKLUSI membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) di berbagai wilayah, salah satunya adalah KWT ‘Aisyiyah Nanggomba di Desa Tikonu. Inisiatif ini bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam sektor pertanian rumah tangga, tetapi juga sebagai strategi peningkatan ketahanan pangan, gizi keluarga, serta pemberdayaan sosial dan ekonomi perempuan desa.
KWT ‘Aisyiyah Nanggomba dibentuk dengan dukungan penuh dari Pemerintah Desa Tikonu. Program ini memberikan pelatihan dan fasilitasi kepada para anggota perempuan desa untuk mengelola lahan pekarangan dengan menanam sayuran dan budidaya ikan (lele dan nila). Selain itu, kelompok ini juga difasilitasi untuk melakukan advokasi kepada pemerintah desa dan dinas terkait, guna memperoleh dukungan sarana dan prasarana pertanian.
Kelompok ini lahir dari kebutuhan dan semangat perempuan desa untuk lebih aktif dalam kegiatan sosial-ekonomi sekaligus meningkatkan gizi keluarga dan masyarakat sekitar. KWT ini menjadi ruang aman dan produktif bagi perempuan, termasuk yang berasal dari kelompok marjinal seperti ibu hamil dan menyusui, lansia, disabilitas, hingga keluarga dengan anak stunting.
Kepala Desa Tikonu, Sabarudin, menjadi salah satu pendukung utama dari awal terbentuknya KWT ini. Ia menyampaikan apresiasinya terhadap semangat dan kontribusi perempuan desa yang kini menjadi agen perubahan.
“Kehadiran Kelompok Wanita Tani ‘Aisyiyah Nanggomba tidak terlepas dari peran Program INKLUSI ‘Aisyiyah,” ujar Sabarudin. “Kami bersama-sama memberikan perhatian untuk memastikan keberlangsungan kelompok ini.”
Komitmen pemerintah desa tidak sebatas pada kata-kata. Pemerintah desa memberikan bantuan berupa tangka semprot untuk pupuk serta mendukung upaya advokasi KWT bersama ‘Aisyiyah kepada dinas terkait seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Perikanan. Hingga kemudian KWT mendapat dukungan beberapa bantuan seperti hand traktor, bibit tanaman, pupuk, termasuk bibit ikan nila dan lele.
Sabarudin menegaskan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan:
“Saya selalu tekankan, perempuan tidak harus berdiam diri di rumah. Mereka bisa aktif, bisa membantu pemasukan keluarga, dan memberi manfaat dalam memperbaiki gizi keluarga,” ucapnya.
Perubahan ini terasa nyata. Para ibu kini tidak lagi menunggu pedagang sayur lewat. Mereka memanfaatkan pekarangan untuk menanam sawi, bayam merah, bayam hijau, kangkung, dan membudidayakan ikan. Apa yang dulu dianggap aktivitas tambahan, kini menjadi sumber pangan, pemasukan, dan pendidikan.
Lahan KWT Nanggomba bahkan kini menjadi tempat belajar bagi siswa-siswi dari desa sekitar. Mereka datang untuk melihat langsung cara menanam dan membibitkan sayuran dalam polybag. KWT telah menjelma menjadi ruang edukasi intergenerasi yang inklusif.
Lebih dari sekadar kebun, KWT ini adalah simbol bahwa ketika perempuan diberi ruang dan dukungan, mereka mampu memimpin perubahan. Dan seperti yang diungkapkan Sabarudin, pemerintah desa akan terus mendampingi:
“Kami pantau terus perkembangannya. Apa yang menjadi kendala, kita diskusikan. Kami juga selalu memberikan motivasi agar kelompok ini bisa jadi percontohan.”
Cerita ini menunjukkan bahwa inklusi sosial bukanlah konsep abstrak. Di Desa Tikonu, itu berarti lebih banyak tangan perempuan bergerak, lebih banyak keluarga mendapatkan pangan bergizi, dan lebih banyak suara perempuan terdengar dalam ruang publik.