Penataan Lembaga Negara Tambahan: Efektifitas Fungsi dan Efisiensi Anggaran
“Keberadaan lembaga Negara tambahan tupoksinya tidak boleh tumpang tindih dengan lembaga Negara yang sudah diatur dalam konstitusi. Tidak semua urusan harus dibentuk lembaga Negara tambahan.” Hal tersebut disampaikan oleh Endang Sulastri, Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang juga Anggota KPU RI periode 2007-2012 dalam Seminar Pra Muktamar ke-48 Muhammadiyah ‘Aisyiyah pada Rabu (16/3/2022).
Dalam seminar yang bertajuk ‘Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia’ ini Endang menyoroti kondisi kehidupan bernegara pasca amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur kelembagaan negara. Salah satu perubahan menurutnya ialah tumbuh suburnya lembaga-lembaga negara yang independen baik dengan dasar hukum konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang hanya dibentuk dengan keputusan presiden.
Endang menyampaikan bahwa penambahan lembaga negara biasanya terbentuk berdasarkan isu parsial, insidental, dan respon khusus terhadap suatu persoalan. “Kemunculan lembaga negara tambahan negara ini biasanya karena lembaga formal tidak mampu menyelesaikan suatu persoalan,” ujarnya. Ia mencontohkan pembentukan KPK pada tahun 2002 yang dasar hukumnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN merupakan respon negara terhadap kejaksaan dan kepolisian yang belum bisa diandalkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Akan tetapi kemudian apakah lembaga-lembaga negara tambahan ini telah efektif menyelesaikan ragam masalah-masalah spesifik sesuai dengan tupoksinya? Atau malah menimbulkan persoalan baru ?
Menurut Endang, dalam menata ulang lembaga negara tambahan di Indonesia perlu kembali kepada UUD 1945. “Tujuan negara kita dalam Pembukaan UUD 1945 adalah menjadi negara bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Karenanya lembaga-lembaga negara tambahan tidak boleh lepas dari konstitusi, termasuk soal fungsi dan kedudukannya,” kata Endang Sulastri.
Mengembalikan prinsip lembaga negara tambahan pada konstitusi agar menciptakan tatanan yang lebih ramping dan efisien sehingga tidak mengeluarkan banyak anggaran. Ia mencontohkan dalam penyelenggaraan pemilu misalnya, yang berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, disebutkan bahwa pemilu diselenggarakan ‘suatu komisi pemilihan umum’. Dari dasar ini kemudian melahirkan tiga lembaga negara tambahan yang mengurus Pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Menurutnya, agar lebih efisien semua unsur-unsur Pemilu cukup diserahkan pada KPU saja. “Kita tidak efisien dalam membentuk lembaga negara tambahan. Karenanya, saya lebih cenderung, kita kembalikan lembaga penyelenggara Pemilu itu ya KPU saja. Bawaslu itu cukup diserahkan pada masyarakat. DKPP juga demikian,” ungkapnya.
Tidak semua urusan disebut Endang harus dibentuk lembaga Negara tambahan. “Beberapa bisa diserahkan kepada masyarakat sipil untuk melakukan sosialisasi, advokasi, pengawasan, penyerapan aspirasi. Tugas pemerintah adalah memberikan fasilitas, mendengarkan dan menyerap aspirasi, dan menindaklanjuti dengan kebijakan.” Endang menambahkan bahwa jika ada yang memang urgen dapat untuk dibentuk lembaganya tapi jangan setiap ada masalah kemudian membentuk lembaga baru.
“Penataan ulang terhadap lembaga-lembaga negara tambahan ini memang perlu segera kita lakukan. Disatu sisi dalam efektifitas tugas dan fungsi tetapi juga terkait efisiensi anggaran negara,” tutup Endang di akhir pemaparannya. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!