Pengajian Ramadan 1445 H PP Muhammadiyah Perkuat Dakwah Kultural
YOGYAKARTA – Pimpinan Pusat Muhammadiyah gelar Pengajian Ramadan 1445 H dengan tema “Dakwah Kultural : Perluasan Basis Komunitas dan Akar Rumput Muhammadiyah.” Acara yang menghadirkan sekitar 300 peserta ini dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini dibuka pada Kamis (14/3/24).
Rektor UMY Gunawan Budianto dalam sambutannya menyampaikan bahwa Muhammadiyah sejak awal berdirinya hingga saat kini telah fokus dalam kegiatan keumatan. Sehingga tema pengajian kali ini menurutnya merupakan penguatan Muhammadiyah di basis masa, khususnya dalam menguatkan sosial ekonomi umat.
Menurut Gunawan jika gerakan ekonomi umat kuat, maka aspek yang lain akan mengikuti. “Muhammadiyah harus terus menguatkan ekonomi keumatan sehingga dapat membuat umat berdaya,” tegasnya.
Bachtiar Dwi Kurniawan Ketua Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PP Muhammadiyah menjelaskan, tema kali ini diangkat untuk memperkuat akar rumput dan memperluas basis masa Muhammadiyah.
Bachtiar menyebut, dakwah kultural yang selama ini telah dijalankan oleh Muhammadiyah merupakan konsep dan pemikiran resmi Muhammadiyah yang strategis dan praksis dalam menghadapi dinamika kebudayaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
“Demikian halnya dengan dakwah komunitas yang terkait dengan dakwah kultural. Kedua pemikiran tersebut memiliki kaitan dengan Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ) hasil Muktamar ke-37,”jelas Bachtiar.
Bachtiar menekankan bahwa GJDJ merupakan sebuah terobosan yang cerdas dan memiliki pengaruh besar ke akar masyarakat, yakni bagaimana Muhammadiyah melakukan dakwah Islam yang terpadu dan nyata di masyarakat melalui pengembangan jama’ah yang inklusif dan digerakkan oleh anggota Muhammadiyah sebagai inti jama’ah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam amanat yang disampaikan menilai Muhammadiyah telah cukup antisipatif dalam menghadapi masalah dan dinamika kebudayaan, termasuk menyangkut tradisi. Hal ini menurutnya terkandung dalam pemikiran resmi “Dakwah Kultural” hasil Tanwir Denpasar tahun 2002.
“Jika disimak secara seksama, objektif, dan jernih maka konsep dan pemikiran yang terkandung dalam Dakwah Kultural Muhammadiyah maupun pemikiran-pemikiran dakwah Muhammadiyah yang lahir sebelumnya, maka sesungguhnya sudah sangat lengkap pemikiran, pendekatan, metode, dan hal-hal lainnya seputar pemikiran dakwah dalam Muhammadiyah.”
Sehingga menurut Haedar tidak benar jika dakwah kultural dianggap meligitimasikan hal-hal yang bertentangan dengan manhaj pemikiran agama dalam Muhammadiyah, termasuk dalam menghadapi gejala syirk, bid’ah, dan khurafat.
Bagi Haedar penting bagi Muhammadiyah untuk meletakkan tradisi, seni, budaya, dan kebudayaan secara proporsional disertai pemaknaan yang mendalam (emik) atau mengandung arti-arti yang postif dan konstruktif.
“Setiap tradisi apakah itu murni kebudayaan maupun terkait dengan keagamaan memiliki makna tertentu dan tidak otomatis bertentangan dengan agama dalam hal ini Islam. Penting memahami tradisi, budaya, dan kebudayaan secara benar, objektif, dan proporsional,” tegas Haedar.
Bila tradisi itu dikaitkan, lanjut Haedar maka agama atau keagamaan penting dilihat proporsinya, jangan serta-merta dicap bid’ah.
Haedar menilai bahwa purifikasi Islam penting dipahami secara benar dan baik, jangan sampai tumbuh sikap anti Sunnah Nabi. Pendekatan yang utuh dan menyeluruh dalam memandang tradisi penting sebagai ikhtiar meninjau kembali pandangan keislaman yang puritan atau pendekatan purifikasi secara benar dan proporsional.
“Hindari paradoks, ingin menghindari bid’ah, justru membuat bid’ah yang lain, dengan cara anti pada Sunnah Nabi yakni ziarah kubur,” jelas Haedar.
Haedar mengungkapkan bahwa Muhammadiyah baik dalam memahami seni budaya, sosial budaya, dan kebudayaan khususnya yang bertemali dengan aspek keagamaan penting memahaminya dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dengan cara pandang kualitatif-emik, yakni melihat secara subtansi dengan masuk ke bagian makna-makna terdalam dari kebudayaan itu.
Haedar menekankan bahwa pandangan keislaman yang bersifat purifikasi mesti disertai dengan dinamisasi dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang utuh, mendalam, kaya, interkoneksi, dan menyeluruh sehingga tidak melahirkan bias atau hitam-putih yang menyebabkan pemahaman dan pembumian Islam menjadi sempit, kering, dan anti kehidupan.
“Padahal Islam baik dalam ajaran maupun sejarah Nabi dan era sesudahnya hadir sebagai agama yang membawa kemajuan peradaban utama. Itulah Islam berkemajuan yang melahirkan kebudayaan serta peradaban maju sesuai nilai-nilai dasar Islam,” tegasnya. (Sumber : muhammadiyah.or.id)