Sebarkan Pandangan Islam Berkemajuan Yang Membela Hak-Hak Perempuan, ‘Aisyiyah Gelar Global Conference on Women’s Rights In Islam
YOGYAKARTA – Bekerjasama dengan Faith to Action Network (F2A), Universitas Al-Azhar, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, dan Muhammadiyah, Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) gelar Global Conference on Women’s Rights in Islam (GCWRI) pada Selasa-Rabu (14-15) Mei 2024 berlokasi di UNISA Yogyakarta. Acara ini akan dihadiri oleh pembicara dan peserta yang berasal lebih dari 10 negara seperti Mesir, Amerika Serikat, Inggris, Bosnia dan Herzegowina, Belanda, Palestina, Kenya, Lestoho, Burundi, Kongo, Nigeria, Ghana, Senegal, Sudan Selatan, Lebanon, Uganda, Zimbabwe, dan lainnya.
Dalam sambutannya pada Konferensi Pers yang berlangsung Senin (13/5/24), Taufiqur Rahman selaku Rektor I UNISA Yogyakarta menyampaikan bahwa konferensi ini sangat relevan dengan UNISA Yogyakarta. “Sebagai universitas yang didirikan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ini juga wujud komitmen UNISA karena misi UNISA salah satunya adalah melakukan kajian dan pemberdayaan perempuan berbasis nilai Islam berkemajuan. Sehingga kajian-kajian hak-hak Islam kontemporer ini sangat relevan dengan komitmen UNISA mencapai misinya,” ujar Taufiq.
Peter Munene selaku CEO dari Faith to Action Network (F2A) mengharapkan dari konferensi internasional ini akan ada banyak sumbangan pemikiran dan juga pembelajaran yang didapat atas berbagai isu terkait hak-hak perempuan termasuk dalam pandangan agama. “Konferensi ini mengundang berbagai pakar terkait gender, kesehatan, pencegahan kekerasan, lebih dari 10 negara hadir dengan berbagai kultur dan agama sehingga masing-masing dapat saling belajar,” ucap Peter.
F2A sendiri merupakan organisasi lintas agama, keyakinan, dan kepercayaan yang berdiri sejak tahun 2011. Dimana Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, persatuan Hindu Indonesia, dan persatuan Buddha Indonesia merupakan salah satu dari pendirinya. Keanggotan F2A tersebar di Afrika, Eropa, Amerika, termasuk Amerika Utara dan Amerika Latin, serta di Indonesia. Berbagai isu menjadi kerja dari F2A seperti pada isu kesehatan dan kesejahteraan keluarga dengan fokus pada kesehatan reproduksi dan seksual, gizi kesehatan ibu anak, HIV/AIDS, sunat perempuan, perkawinan anak, perkawinan tidak tercatat.
Kemudian isu hak-hak perempuan dan keadilan gender. Dengan fokus untuk memberikan hak atas akses perempuan di berbagai bidang kehidupan, menghilangkan diskriminasi dari masyarakat yang membuat perempuan tidak bisa berpartisipasi secara full dalam kehidupannya, kekerasan berbasis gender, kesetaraaan antara perempuan dan laki-laki, isu perempuan dan budaya.
Serta isu tentang kedamaian, keadilan, dan komunitas yang inklusif yang berfokus pada hubungan antar agama dan kepercayaan, antar komunitas, antar suku. Selain itu juga bagaimana memberikan kesempatan yang sama pada kelompok-kelompok minoritas untuk bisa mendapatkan peran pada berbagai kegiatan termasuk dilibatkan pada prose pembuatan kebijakan di pemerintahan.
Alimatul Qibtiyah, dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah menyebutkan bahwa kegiatan ini penting mengingat bahwa sejatinya ajaran islam telah menempatkan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki baik dalam agama, maupun kehidupan public, sosial, dan politik. Begitu juga berbagai kebijakan internasional maupun nasional yang telah mendukung kesetaraan bagi perempuan ini. Akan tetapi sayangnya menurut Alimatul, masih banyak persoalan, diskriminasi, serta kekerasan berbasis gender yang dihadapi oleh perempuan termasuk perempuan muslim di berbagai negara termasuk di Indonesia.
“Agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan Muhammadiyah serta ‘Aisyiyah yang memiliki semangat Islam berkemajuan memiliki komitmen untuk menegakkan, memenuhi, melindungi, dan mempromosikan hak-hak perempuan, oleh karena itu penting bagi kita melakukan advokasi bersama.,” tutur Alimatul.
Alimatul berharap dari kolaborasi internasional ini berbagai pemikiran yang disampaikan juga dapat menjadi landasan bagi para pembuat kebijakan juga dalam pelaksanaan berbagai program dan aktivitas yang menegakkan, memenuhi, melindungi, dan mempromosikan hak-hak perempuan. Sehingga nantinya diharapkan akan ada empat output dari konferensi ini yakni saling berbagi dan belajar pengalaman dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, inisiasi gerakan advokasi bersama, membekali para pembela hak perempuan dengan berbagai informasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, serta menghasilkan dokumen bagi para advokat untuk mengembangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Siti Syamsiyatun, Ketua LPPA PP ‘Aisyiyah dalam kesempatan tersebut juga mendorong Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia agar dapat menjadi pusat studi Islam. “Indonesia jangan ragu menjadi pusat studi Islam karena di banyak negara yang berpenduduk Islam masih didapati hak perempuan belum sepenuhnya dihormati, bahkan masih banyak perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, tidak bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi, akan tetapi hal ini di Indonesia sudah bukan merupakan masalah,” terangnya.
Begitu juga dengan pandangan Islam Berkemajuan dari Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara perlu disebarluaskan ke seluruh dunia. “Melalui GCWRI ini kita akan melakukan advokasi tidak hanya di tingkat grassroot, Tingkat nasional, tetapi juga level internasional,” ujarnya. (Suri)