Lismina Wati Dampingi Ibu Hamil Risti Dapatkan Layanan Kesehatan
Lismina Wati, perempuan kelahiran 1990 ini tidak menyangka keterlibatannya dalam Inklusi ‘Aisyiyah akan membuka berbagai pengalaman baru untuknya. Termasuk untuk mendampingi ibu hamil berisiko tinggi di desanya. Salah satunya adalah ibu M, perempuan berusia 45 tahun yang hamil anak ke-5.
“Saya tahu kehamilan ibu M ini dari teman saya yang di posyandu menceritakan kalau ibu M ini sudah hamil 7 bulan tetapi tidak pernah periksa, kebetulan ibu M ini anggota BSA kita,” ujar perempuan yang akrab disapa Iis ini. Dari cerita temannya tersebut Iis kemudian membicarakan perihal ini ke teman-teman kader Balai Sakinah ‘Aisyiyah yang lainnya.
Balai Sakinah ‘Aisyiyah adalah wadah pendampingan Inklusi ‘Aisyiyah bagi perempuan usia subur. Tidak hanya sebagai tempat mendapatkan berbagai ilmu tetapi juga untuk berbagi berbagai persoalan yang dihadapi para perempuan. Setelah berdiskusi dengan kader dan tim Inklusi ‘Aisyiyah Hulu Sungai Utara (HSU) kemudian Bu Iis mendatangi rumah Ibu M untuk menanyakan kondisinya.
Dari hasil kunjungannya tersebut Iis menuturkan bahwa Ibu M tidak memeriksakan kehamilannya karena malu. “Alasannya karena malu karena sudah tua, ini kan anak yang ke-lima, usia mendekati 46 tahun masih hamil kata dia begitu, kenapa harus malu kata saya, untuk kesehatan, ibu harus tetap periksakan kehamilan, kata saya,” cerita Iis.
Dari situ kemudian Iis mengajak ibu M untuk mau memeriksakan kehamilannya di Puskesmas. Sayang sekali niat Iis tersebut masih ditolak oleh ibu M dengan berbagai alasan. “Saya ajak, kita periksa ke poskes ya bu, tetapi dia beralasan, saya sakit bu, saya ingin melahirkan di rumah saja. Tapi kata saya tidak bisa karena kita tidak ada bidan desa sehingga harus melahirkan di poskes, beralasan bermacam-macam ibu, akhirnya tertundalah. Kemudian kami datangi lagi tanggal 14, hari Sabtu, saya bawa hari Sabtu saya masukkan ke poskes, sudah dijadwalkan hari itu, jadi tidak perlu antri.”
Dari hasil pemeriksaan di Puskesmas Iis menyampaikan jika dokter USG menyarankan agar ibu M dirujuk ke RS Daerah di Amuntai. Ini dikarenakan Ibu M memiliki tekanan darah tinggi, dengan HB rendah, dan kolesterol tinggi. Tantangan yang dihadapi bu Iis tidak hanya berhenti di situ saja, suami dari Ibu M juga menyampaikan penolakan jika isterinya dibawa ke RS untuk melahirkan.
“Suaminya menyampaikan kalau istri saya ini dibelah sama dijerat rahimnya saya ingin menikah lagi, saya bujuk engga selajur dioperasi kata saya, tetapi kita konsultasi sama doktor bagaimana biar darah ibu rendah bisa lahiran normal, kalau darah ibu tinggi itu kan kebijakan dokternya,” cerita Iis.
Berbagai cara dilakukan Iis untuk meyakinkan sang suami agar Ibu M mendapatkan layanan kesehatan yang diperlukan. Untuk jadwal pemeriksaan selanjutnya Iis akan mengajak sang suami ikut agar bisa mengetahui hasil pemeriksaan isterinya. Iis juga melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah desa untuk bisa meyakinkan sang suami bahwasanya isterinya perlu mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sakit. Selain itu Iis bersama pemerintah desa setempat juga melakukan pengurusan BPJS Ibu M sehingga dapat mempermudah ibu M dalam menerima layanan kesehatan.
Iis menyampaikan bahwa masyarakat desa memang terbiasa melahirkan di rumah dengan dibantu oleh bidan desa. Akan tetapi sudah beberapa waktu posisi bidan desa kosong karena bidan desa yang lama dipindah tugaskan hingga untuk mendapatkan layanan kesehatan Masyarakat harus ke Puskesmas yang jaraknya cukup jauh. “Jarak desa ke puskesmas 11 KM, naik motor dulu 2 KM keluar kampung kemudian ganti naik kendaraan, itu juga dengan kondisi yang berbatu dan licin jika hujan,” ceritanya.
Iis berharap segera ada pengganti bidan desa sehingga pelayanan kesehatan bagi para ibu hamil bisa lebih mudah dan lebih dekat. Selain itu dengan adanya bidan desa masyarakat akan lebih mudah percaya jika ada edukasi kesehatan. Edukasi kesehatan disebut Iis memang dilakukan juga di BSA akan tetapi untuk beberapa kasus ibu hamil Iis mengaku sering mendapatkan protes jika dirinya yang menyampaikan. “Kalau kami yang memberi tahu biasanya mereka akan protes sambil bilang kamu yang hamilkah atau saya ? atau kamu engga hamil sih,” cerita Iis.
Akan tetapi berbagai tantangan ini Iis hadapi dengan penuh semangat untuk berbagi manfaat kepada sesame. Melalui kegiatan Inklusi ‘Aisyiyah ini Iis berharap para perempuan di Desanya bisa menerima berbagai pengetahuan yang sebelumnya belum pernah diketahui. Salah satunya tentang kesehatan ibu dan anak. “Pengetahuan kita sebagai perempuan harus bertambah, jadi kita sebagai permepuan jangan mengandalkan suami saja kita harus mandiri,” tegas Iis. (Suri)