‘Aisyiyah Dorong Keterlibatan Multipihak Untuk Kembangkan Sekolah Inklusif di Amal Usaha Pendidikan
YOGYAKARTA – “Sekolah-sekolah ‘Aisyiyah di berbagai daerah sudah menapaki pendidikan inklusif untuk semua, pendidikan untuk anak-anak kita yang seharusnya mendapatkan haknya yang merupakan hak dasar bagi warga negara tetapi memang ketersediaan agar semua anak mendapatkan akses pendidikan inklusif ini masih menjadi tantangan tersendiri.” Hal tersebut disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Tri Hastuti Nur Rochimah dalam kegiatan Miniloka Penyusunan Panduan Pendidikan Inklusif bertema Akses Pendidikan Tanpa Diskriminasi pada Rabu (01/03/23).
Tri menyebutkan bahwa sejak tahun 2009 pemerintah Indonesia sudah menerbitkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 yang merupakan sebuah mandat khusus bahwa pendidikan di Indonesia harus inklusif yang dimulai sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Akan tetapi hingga kini menurut Tri masih banyak tantangan dalam menyediakan pendidikan inklusif. “Meskipun demikian setiap warga negara harus memiliki haknya untuk menerima pendidikan, no one left behind,” tegas Tri.
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah disebut Tri mempunyai kepentingan untuk membuka akses seluas-luasnya bagi anak-anak Indonesia agar terpenuhi hak pendidikannya termasuk membuka akses pendidikan inklusif. “Menjadi penting juga bagi kita untuk membangun model pendidikan inklusif untuk menjadi mainstream di amal usaha kita, mengupayakan bersama agar semua anak-anak kita berada di satu ruang, satu atap untuk mendapatkan pendidkan yang sama.”
Tri juga menyampaikan keprihatinannya karena saat bertugas di berbagai daerah Ia menemukan banyak anak-anak yang berkebutuhan khusus tetapi belum dapat pendidikan yang layak. Salah salah satunya menurut Tri adalah kendala SDM yang belum dilatih khusus untuk mengawal anak-anak berkebutuhan khusus agar mendapatkan hak yang sama atas pendidikan.
Miniloka ini disebut Tri menjadi salah satu upaya untuk mengembangkan modul pendidikan inklusif. “Semoga langkah kita ini akan sustain sehingga ‘Aisyiyah akan menjadi model rujukan proses pembelajaran yang inklusif untuk semua sehingga pertemuan pada siang hari ini penting dan signifikan bagi kita semua,” terang Tri.
Fitniwilis, Ketua Majelis PAUD dan Pendidikan Dasar Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyebut bahwa pendidikan inklusi adalah suatu hal yang sudah tidak bisa ditunda lagi. “Kalau kita mengacu pada Permendiknas, artinya semua anak Indonesia dari sisi pendidikan inklusi semuanya bisa diberikan pendidikan berdasarkan kelebihannya, oleh karena itu mereka harus disatukan pendidikannya dengan anak yang lain,” terang Fitni. Penyatuan pendidikan bagi semua ini menurut Fitni penting untuk membangun pendidikan sosial bagi anak-anak. “Yang selama ini dijalankan di Indonesia adalah pendidikan tepisah, seperti kita ketahui saat ini pendidikan SLB. Kalau dia terpisah secara sosial mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak mendapatkan pendidikan sosial yang baik, pendidikan inklusi itu menyatukan semuanya.” Akan tetapi Fitni juga mengakui bahwa tentu saja ada tantangan yang luar biasa untuk membangun kesiapan sarana prasarana serta kesiapan para guru.
Lebih lanjut, Fitni menyampaikan bahwa pada periode sebelumnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah sudah mulai melakukan penyusunan panduan pendidikan inklusif dan akan dilanjutkan pada periode ini. “Di tingkat PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah kita akan membuat panduan dan akan ada pelatihan untuk guru-guru kita untuk mendampingi anak-anak di kelas atau sekolah inklusi.”
Fitni berharap melalui pertemuan ini akan semakin menguatkan pengembangan panduan pendidikan inklusi yang bisa dilakukan oleh ‘Aisyiyah.”Kita bisa memberi akses pendiikan kepada semua anak tanpa diskriminasi, karena semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu.”
Kis Rahayu, Pegiat PAUD yang juga merupakan pimpinan PAUD ‘Aisyiyah Nur’aini menyampaikan bahwa PAUD ‘Aisyiyah/TK ‘Aisyiyah sebagian besar sudah menerima anak-anak berkebutuhan khusus akan tetapi memang kebanyakan belum berani mendeklarasikan diri sebagai PAUD Inklusi. Hal ini dikarenakan pengelola PAUD/TK ‘Aisyiyah merasa belum memiliki instrumen maupun sarana prasarana yang memadai untuk menjadi sebuah sekolah inklusi. Padahal menurutnya banyak peluang pendidikan inklusi ini salah satunya adalah banyaknya kebutuhan dari masyarakat. Oleh karena itu Kis mengharapkan peran ‘Aisyiyah dalam mendorong layanan pendidikan inklusi ini. Salah satunya adalah melalui penyusunan panduan atau modul pelaksanaan pendidikan inklusi ini. Kemudian melakukan sosialisasi pentingnya pendidikan inklusi bagi sekolah-sekolah ‘Aisyiyah.
Selain itu ‘Aisyiyah juga perlu menyelenggarakan pelatihan atau bimtek tentang pendidikan inklusi, merintis sekolah model inklusi sebagai sekolah contoh, bekerjasama dengan berbagai pihak dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi, serta mengusulkan kepada Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah untuk membuka program studi pendidikan khusus. “Semoga kita bisa mewujudkan bersama sehingga sekolah ‘Aisyiyah betul bisa menjadi sekolah berkemajuan,” tandasnya.
Nuwuningsih, Kepala Sekolah PAUD Srawung Bocah menyampaikan bahwa untuk dapat mengelola PAUD Inklusi terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan. Hal utama yang diperlukan menurutnya adalah kesiapan siswa, orang tua, kepala sekolah, pendidik, serta tenaga kependidikan. Kemudian dilanjutkan dengan peran perguruan tinggi, psikolog, dokter, ataupun terapis, serta guru pembimbing khusus.
Terkait kompetensi guru, Nuwu menyebutkan bahwa menjadi guru dengan jiwa pembelajar disebut Nuwu sangat diperlukan di sekolah inklusi. Berdasarkan pengalamannya, PAUD Srawung Bocah mengembangkan tenaga pedidik melalui laku, ngilmu itu laku atau sambil berjalan. Karena banyak pembelajaran baru yang tidak muncul di text book melainkan dari pengamatan dan interaksi dengan para murid. “Guru-guru kami hampir semua fresh graduate jadi kami membangun semua secara simultan mulai dari sarana prasarana hingga guru-gurunya kami kuatkan di capacity building untuk peningkatan kapasitas.”
Para guru disebut Nuwu juga harus mempunyai kemampuan mengkomunikasikan kepada murid yang lain kenapa temannya ada yang berkemampuan berbeda. Termasuk pada awal tahun baru Nuwu juga mengharuskan adanya pijakan awal untuk mengenalkan kepada anak-anak bahwa ada teman-teman yang berkebutuhan khusus. “Biar anak-anak paham dan muncul sifat saling menghargai,” terangnya.
Selain itu ia juga mengajak para pegiat PAUD untuk dapat juga memperhatikan anak-anak yang disebutnya ada di posisi tengah yang tidak kekurangan juga tidak kelebihan. Karena menurutnya setiap anak memiliki persoalannya sendiri. “Sisi tengah tidak bisa diabaikan begitu saja karena juga memiliki persoalan sendiri. Kami perhatikan anak-anak, bukan yang lebih atau yang kurang juga punya permasalahan tersendiri yang cukup besar misalkan karena kesalahan pengasuhan dan memiliki kecemasan yang berlebihan.”
Nuwu mengajak semua pihak dapat berkontribusi untuk meluaskan pendidikan inklusi ini. “Jika ada pertanyaan pendidikan inklusi itu tanggung jawab siapa? Siapapun kita, apakah kita sebagai masyarakat, kita sebagai guru, kita sebagai PP ‘Aisyiyah, siapapun kita, kita tidak perlu berbicara pemerintah tapi mulai dari diri kita, apa yang bisa kita lakukan walau hanya tahu sedikit maka sampaikan apa itu pendidikan inklusi.”
Ceria Hermina, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin mengamini bahwa masi banyak tantangan yang harus dijawab untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi secara menyeluruh di Indonesia. Sebagai praktisi pendidikan dan juga seorang psikolog Ia juga mendorong teman-teman di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin untuk dapat konsen mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus terutama di sekolah-sekolah Muhammadiyah ‘Aisyiyah di Banjarmasin.
“Kami mendampingi sekolah-sekolah termasuk SD dan TK ‘Aisyiyah yang jika guru mendeteksi dini ada anak dengan kebutuhan khusus maka dapat langsung mengkontak kita dan kita akan hadir atau anak bersama orangtua dapat hadir di lab kita untuk kita tegakkan diagnosanya.”
Tegaknya diagnosa mengenai kondisi kebutuhan khusus seorang anak diperlukan agar orang tua dapat mengetahui tindakan atau pengobatan atau pendidikan seperti apa yang terbaik bagi anak. Akan tetapi Ceria mengakui hingga kini pihaknya masih kesulitan untuk dapat merekomendasikan anak ke sekolah inklusi. “Kami kebigungan harus merekomendasikan ke sekolah mana, harapan besar kami selama bertahun-tahun bahwa ketika sudah terdiagnosa itu kami tidak lagi kesulitan merujuk anak ke sekolah inklusi.”
Selain itu Ceria juga mendorong optimalisasi peran keluarga dan pendidik untuk motivasi tumbuh kembang anak dengan kebutuhan khusus. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk dapat sepenuh hati menerima dan mendukung anak dengan kebutuhan khusus. Penting bagi orangtua menerima tanpa syarat anaknya, mengadakAn stimulasi dan memahami perkembangan dan perangai anaknya.
“Orang tua diharapkan dapat memahami tumbuh kembang anak adalah agar anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin baik dari sisi fisik, mental dan sosial dengan deteksi dini setiap kelainan tumbuh kembang dapat diketahui agar dapat melakukan penanganan yang efektif dan komprehensif serta melakukan langkah pencegahan penyimpangan tumbuh kembang,” terang Ceria. (Suri)