Lazismu Turki Pantau dan Penuhi Kebutuhan Penyintas Gempa Turki di KBRI

YOGYAKARTA – Senin (13/02/23) UNISA Yogyakarta gelar Media Gathering dengan tema “Membangun Citra dan Reputasi Kepakaran UNISA Yogyakarta Melalui Sinergi Bersama Media.” Acara yang berlangsung di Gedung Siti Moendjiyah ini dihadiri rekan-rekan media dan civitas akademika UNISA Yogyakarta.
Rektor UNISA Yogyakarta, Warsiti menyebutkan bahwa pertemuan media ini pertama kali dilakukan pasca pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Melalui pertemuan ini Warsiti menyebutkan bahwa UNISA Yogyakarta ingin menguatkan sinergi dengan rekan-rekan media dan dapat bersinergi dalam membangun citra dan reputasi kepakaran UNISA Yogyakarta.
Warsiti menyebut bahwa selama ini para akademisi hanya berada di lingkungan kampus saja. Walaupun menurutny sudah ada Tridarma ketiga Perguruan Tinggi tentang pengabdian masyarakat akan tetapi selama ini lebih kepemberian bantuan. Oleh karena itu ia berharap hal-hal terkait keilmuan dan kepakaran di UNISA ini bisa menjadi in line dengan kebutuhan dan dapat dipahami masyarakat.
“Bukan kampus sebagai menara gading tetapi kampus bisa menjadi tempat yang hadir para pakar yang diakui oleh masyarakat. Percuma kalau pakar hanya diakui di UNISA atau hanya di bidang keilmuannya saja tapi tidak diakui di masyarakat,” terang Warsiti.
Oleh karena itu melalui kegiatan ini dapat lebih meluaskan kolaborasi dan kerjasama UNISA Yogyakarta dengan media. “Sehingga betul-betul keberadaan UNISA dan para pakar UNISA ini bisa diakui masyarakat luas bukan hanya masyarakat akademisi saja.”
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Yogyakarta, Anton Wahyu Prihartono saat memaparkan tema Pers, Citra, dan Reputasi menyebut bahwa kampus sejatinya adalah gudang ilmu pengetahuan selain perpustakaan. Oleh karena itu sudah saatnya kampus memiliki dan memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui menulis. Ia menambahkan bahwa untuk dunia kampus, menulis di website juga bisa mendongkrak webometric selain menulis di artikel ilmiah maupun jurnal ilmiah. “Inilah yang harus dimasfikan, saya kira ini bukan hanya sekedar kebiasaan tetapi juga berelasi dengan media tidak ada ruginya.”
Anton menyebut bahwa dalam membangun citra dan reputasi maka harus diketahui keunggulan kompetitif yang dimiliki UNISA. Salah satunya menurut Anton bidang Kesehatan di UNISA dapat menjawab persoalan kesehatan yang muncul di masyarakat. “Kalau UNISA sudah banyak berelasi dengan teman-teman media saya kira akan lebih mudah lagi menyampaikan informasi seperti itu. Atau bisa saja Bapak Ibu siap sedia dihubungi teman-teman media karena kepakarannya,” terang Anton.
Sehingga nantinya Anton optimis UNISA dapat hadir di tengah masyarakat menjawab persoalan di tengah masyarakat. “Jangan sampai hal positif tadi mengendap di UNISA, harus disampaikan ke masyarakat dan pada akhirnya nanti reputasi akan terbentuk, citra juga akan terbentuk, nanti akan terjadi top of mind masyarakat untuk universitas kesehatan itu adalah UNISA.”
Fernan Rahadi, Redaktur Republika DIY-Jawa Tengah dalam pemaparan Kolaborasi Media Massa dan Perguruan Tinggi menyebut keprihatinannya bahwa civitas akademika di kampus lebih banyak menarik diri dari percaturan media. “Hal ini membuat gap semakin lebar antara orang yang benar pakar dan masyarakat awam,” terangnya. Oleh karena itu kolaborasi media masa dan kampus sangat diperlukan untuk saling menguatkan. Republika sendiri sebagai media menurut Fernan siap bekerjasama dengan perguruan tinggi termasuk dengan UNISA Yogyakarta. (Suri)
YOGYAKARTA-Jelang Muktamar ke-18 yang akan diselenggarakan di Kalimantan Timur pada 21-24 Februari mendatang, Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah melakukan launching website pmgo.id. Berlangsung di aula kantor PP Muhammadiyah pada Jum’at (10/02/2023) acara ini dihadiri oleh Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti; Sekretaris Jenderal PP Pemuda Muhammadiyah, Zulfikar Atawala; Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, Anton Nugroho; dan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto yang hadir secara daring.
Sunanto menyebutkan bahwa website pmgo.id ini akan digunakan untuk pendaftaran Muktamar akan tetapi juga sekaligus sebagai pendataan bagi kader Pemuda Muhammadiyah. “Yang menjadi dasar pmgo ini kita lahirkan, bagi kami adalah bagaimana data pengkaderan, bagaimana itu terdata sehingga kita bisa merujuk siapa yang bisa kita bina dan berapa keharusan kita merekrut kader,” terang Sunanto yang akrab disapa Cak Nanto ini.
Cak Nanto menyebut bahwa website pmgo.id ini akan menjadi warisan bagi kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah periode selanjutnya. “Pmgo ini berguna untuk pendaftaran Muktamar tetapi bisa saya pastikan pmgo ini nanti akan kami serahkan ke pimpinan PP Pemuda yang baru sehingga tidak ada kepentingan politik yang menjadi dasar pmgo ini,” terangnya.
Lebih lanjut Cak Nanto menyebut bahwa website pmgo.id ini diharapkan akan menyokong sistem pendataan para kader Pemuda Muhammadiyah karena menurutnya selama ini data anggota masih menjadi problem tersendiri.
Sistem ini menurut Cak Nanto seharusnya tidak hanya sebuah sistem tetapi di dalamnya menjadi kewajiban para kader sebagai penerus dan penyebar nilai-nilai kemanusiaan dan saling meneguhkan ikatan persaudaraan Pemuda Muhammadiyah. “Sekaligus data ini sebenarnya untuk menjaga silaturahim dan mengukuhkan ruh ideologi kader Muhammadiyah,” terangnya.
Cak Nanto berharap agar Muktamar ke-18 mendatang akan sukses dan membawa manfaat yang luas. “Semoga sukses, gerakan ini sukses, Muktamarnya sukses, dan sukses pemuda untuk memajukan bangsa.”
Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti menyebut bahwa langkah yang diambil Pemuda Muhammadiyah ini adalah penting karena melihat saat ini kelekatan generasi muda terhadap penggunaan internet, gadget, dan media sosial. “Betapa masifnya perkmbangan teknologi dan ketergantungan kita pada teknologi harus menjadikan media sosial dan website sebagai sumber utama mencari informasi dan bagaimana membuat website kita sustainable,” ujarnya.
Terkait tantangan untuk membuat website menjadi sutainable Sayuti menyebut dapat dilakukan karena keberadaan Pemuda Muhammadiyah di seluruh Indonesia. “Pemuda Mu saya yakin dari seluruh Indonesia sebenarnya tidak kekurangan konten atau kegiatan tetapi problemnya awarenessnya itu.”
Atas nama PP Muhammadiyah, Sayuti juga menyampaikan harapannya agar website pmgo.id ini maupun media sosial seluruh ortom bisa menjadi sumber informasi segala hal tentang Pemuda Muhammadiyah. “Jadi pesan kami harus sustainable dan itu adalah dakwah yang bisa kita lakukan,” tegasnya. (Suri)
YOGYAKARTA – “’Aisyiyah sejak awal kelahirannya sudah berpikir dan menggunakan perspektif GEDSI terutama bagaimana kita mendorong pada kelompok yang belum terperhatikan oleh layanan dasar dan kebijakan pemerintah. Ini kemudian kita dorong bersama sama agar mendapatkan layanan yang baik.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Tri Hastuti Nur Rochimah dalam kegiatan Diskusi Mendorong Layanan Kesehatan Ramah Disabilitas pada Kamis, (9/2/2023).
Dalam acara yang digelar oleh Program Inklusi ‘Aisyiyah ini, Tri Hastuti menyebut bahwa semua kader ‘Aisyiyah harus terus mendorong agar pembangunan kesehatan juga memberikan akses pada semua. “Ibu-ibu pasti sudah tahu tagline tak seorangpun boleh ditinggalkan, artinya saudara kita teman-teman disabilitas juga harus mendapatkan layanan yang sama seperti kita semua sehingga mereka juga terpenuhi hak kesehatannya.”
Tri berharap agar diskusi ini dapat menjadi referensi dan panduan dalam melakukan advokasi di semua level pemerintahan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang ramah bagi disabilitas. “Sehingga betul-betul No One Left Behind akan betul menjadi kenyataan bukan sekedar mimpi dan jargon,” tegasnya yang juga merupakan Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah.
Diskusi ini menghadirkan Indana Laazulva seorang Gender and Social Inclusion Specialist dan Hannie Permatasari yang merupakan Kepala Puskesmas Sentolo II, Bantul yang telah menerapkan layanan kesehatan ramah disabilitas di lokasinya bertugas. Dalam kesempatan tersebut Indana menyebutkan data bahwa 8.56% penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Menurutnya kondisi penyandang disabilitas di Indonesia masih memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam berbagai sektor seperti pendidikan, pelatihan, penempatan kerja, hingga tereksklusi dari lingkungan sosial. “Artinya dia mengalami stigma, mengalami subordinasi, seringkali dianggap warge negara nomor dua hak-haknya bahkan kurang terperhatikan dan terabaikan dan kita harus akui akses disabilitas di negara kita sangat terbatas sehingga kebijakan pemerintah kita dorong bersama agar semua bisa mendapatkan kesempatan yang baik,” terangnya.
Indana juga menyoroti terkait pendekatan yang selama ini dilakukan kepada penyandang disabilitas yang masih charity based atau dalam bentuk pemberian sumbangan semata tanpa memberikan pemberdayaan atau pelatihan peningkatan skill yang sejatinya sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kemandirian. “Paradigma kita melihat persoalan disabilitas itu menggunakan paradigma lama bahwa mereka makhluk yang harus dikasihani yang tidak mampu terlibat dalam pembangunan dan lemah sehingga pendekatan yang kita lakukan selama ini adalah charity based tanpa memberdayakan, tanpa memberikan skill karena memberikan donasi justru akan menimbulkan ketergantungan.” Oleh karena itu Indana mengajak lebih banyak pihak untuk terus dapat melibatkan teman-teman disabilitas dalam penyusunan kebijakan.
Terkait kesehatan, Indana juga menyampaikan bahwa banyak persoalan yang dialami oleh teman-teman disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan. Sehingga isu ini juga harus menjadi perhatian. Berbagai persoalan ini terjadi karena adanya hambatan yakni hambatan fisik, hambatan informasi, dan hambatan struktural/institusional. Oleh karena itu dalam mendesain program layanan kesehatan Indana mengajak untuk dapat menggunakan prinsip desain universal yang berbasis perspektif GEDSI (Gender Equality Disability Social Inclusion). Selain itu menurutnya sebuah sistem kesehatan yang inklusif adalah sistem kesehatan bagi penyandang disabilitas yang harus dimulai dari menemukenali bentuk-bentuk hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan.
Hannie Permatasari yang merupakan Kepala Puskesmas Sentolo II di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa penyedia pelayanan kesehatan hendaknya memastikan bahwa bangunannya, pelayanannya, informasi yang diberikannya, dan bagaimana ia berkomunikasi dengan orang-orang, semuanya harus aksesibel atau dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Hal ini tentu karena pengguna layanan kesehatan adalah masyarakat umum, di mana penyandang disabilitas adalah bagian di dalamnya.
Oleh karena itu ia mendorong untuk setiap layanan kesehatan dapat menerapkan pelayanan yang ramah kesehatan yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hannie tidak menampik kemungkinan bahwa banyak sarana kesehatan yang sudah ada belum seluruhnya memiliki akses bagi disabilitas dan perlu dilakukan perombakan atau renovasi. Akan tetapi dapat dilakukan berbagai langkah awal untuk mulai menambah aspek-aspek pelayanan yang dapat dilakukan dalam memberikan layanan bagi teman-teman disabilitas. (Suri)
PAPUA – “’Aisyiyah harus terus bergerak secara progesif, harus berlari kencang tiga kali lebih cepat sehingga harus hadir sebagai gerakan perempuan muslim berkemajuan yang mampu dan berkontribusi menyelesaikan permasalahan umat dan bangsa.” Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah dalam pembukaan Musyawarah Wilayah (Musywil) ‘Aisyiyah ke-8 Papua yang dilaksanakan secara hybrid pada Ahad (05/02/23).
Dalam Musywil yang mengambil tema “Perempuan Berkemajuan Membangun dan Mencerahkan Papua” ini Salmah menyebut bahwa memasuki abad kedua periode kedua ‘Aisyiyah, seluruh warga ‘Aisyiyah wabil khusus Papua harus bergerak progesif, tidak dapat bergerak apa adanya terlebih bersifat minimalis.
Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah yang telah digelar dengan sukses di Surakarta menurut Salmah harus menjadi tauladan untuk Musywil ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia termasuk di Papua ini. Oleh karena itu dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini berharap Musywil dapat dijadikan sebagai kilas balik peran-peran ‘Aisyiyah di Papua serta melakukan perencanaan strategis peran ke depan. “Saya mengajak memaknai Musywil ‘Aisyiyah dengan kesungguhan hati, pemikiran cerdas, dan maju serta kebersamaan yang tinggi agar bisa dihasilkan keputusan-keputusan praksis dan strategis yang akan menjadi acuan langkah ‘Aisyiyah Papua untuk lima tahun kedepan dan selanjutnya.”
Menghadapi berbagai permasalahan terutama yang dihadapi oleh perempuan dan anak, Salmah mengajak warga ‘Aisyiyah bergerak tiada henti. Hal ini sebagai aktualisasi dari spirit dakwah dan tajdid yang tergambar dari usaha ‘Aisyiyah untuk mencerahkan kehidupan umat bangsa dan kemanusiaan universal yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan. “Kiprah ‘Aisyiyah merupakan perjuangan untuk berjihad dalam memajukan seluruh aspek kehidupan melalui penguatan spiritualitas, akhlak, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraan sosial, dan usaha lain di basis masyarakat komunitas jamaah.”
‘Aisyiyah disebut Salmah memiliki modal besar yakni struktur yang tersusun dari pusat hingga ranting sehingga ‘Aisyiyah memiliki peran besar untuk mencegah berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. “Kehadiran ‘Aisyiyah harus semakin kokoh dan meluas yang membawa spirit ummatan wasathan dan Syuhada ‘Ala Nas sebagaimana perintah Allah dalam al-Baqarah 143 yang memiliki inspirasi yang sama dengan misi dakwah mewujudkan umat yang terbaik.”
Sementara itu, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Papua, Wahyu Widayati menyebut bahwa sukses Musywil ‘Aisyiyah Papua ke-8 adalah diarahkan pada keputusan-keputusan yang membawa pada kemajuan ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim untuk mewujudkan Islam raḥmatan lil- ‘ālamīn. Sebagaimana tema yang diusung oleh Musywil yakni “Perempuan Berkemajuan Membangun dan Mencerahkan Papua,” ‘Aisyiyah Papua bermaksud meneguhkan dan mendorong perempuan untuk membangun peradaban utama secara kolektif dari tingkat pusat sampai ranting.
“Gerakan ‘Aisyiyah yang dinamis akan semakin unggul dan meluas dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan,” tegasnya. Selain itu tema ini juga menjadi pengingat bahwa Risalah Perempuan Islam Berkemajuan adalah bagian penting dari hasil Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah di Surakarta.
‘Aisyiyah ditegaskan Wahyu adalah gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar- benarnya. Oleh karena itu ia mengajak seluruh pimpinan, kader dan warga ‘Aisyiyah, dapat merenungkan kembali hakikat, spirit, misi, dan kiprah pergerakan ‘Aisyiyah dalam Musywil ini. “Selamat bermusyawarah dan mendialogkan berbagai kebijakan dan program sehingga menghasilkan kesepakatan dan keputusan yang adaptif di tingkat wilayah sampai ranting,” tutupnya. (Suri)
YOGYAKARTA – Gelar Konferensi Pers Maklumat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah “Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, Zulhijjah 1444 H pada Senin (6/2/23), PP Muhammadiyah resmi menetapkan 1 Ramadan 1444 H pada Kamis, 23 Maret 2023; 1 Syawal 1444 H pada Jumat, 21 April 2023; 1 Zulhijjah 1444 H pada Senin 19 Juni 2023; Hari Arafah (9 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Selasa, 27 Juni 2023; dan Iduladha (10 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Rabu, 28 Juni 2023.
Kepastian tersebut disampaikan secara langsung oleh Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti yang juga dihadiri oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar; dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Fathurrohman.
Syamsul Anwar menyebut bahwa penetapan 1 Ramadan tahun ini memiliki potensi sama dengan pemerintah, tetapi awal Syawal dan Zulhijjah ada potensi berbeda dengan pemerintah karena Muhammadiyah memakai hisab hakiki wujudl hilal, sementara pemerintah berpedoman pada kriteria MABIMS. “Potensi perbedaan ada pada awal Syawal dan Zulhijah hal ini karena menurut kriteria MABIMS bulan bisa dilihat pada tinggi bulan sekurang-kurangnya 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat,” tuturnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam kesempatan tersebut menyampaikan agar jika terjadi perbedaan jangan dijadikan sebagai sumber perpecahan. Menurutnya perbedaan di tubuh umat Islam bukan suatu yang baru. “Kita punya pengalaman berbeda dalam hal 1 Ramadan, 1 Syawal 10 Zulhijjah sehingga perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru. Artinya kita sudah terbiasa dengan perbedaan lalu timbul penghargaan dan kearifan,” terang Haedar.
Haedar juga mendorong dari perbedaan itu lahir sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi atau tasamuh, serta menimbulkan pernghargaan, dan kearifan atas perbedaan. “Jangan juga dijadikan sumber yang membuat kita umat Islam dan warga bangsa lalu retak, karena ini menyangkut ijtihad yang menjadi bagian denyut nadi perjuangan perjalanan sejarah umat Islam yang satu sama lain saling paham, menghormati dan saling menghargai.”
Perbedaan yang dimiliki disebut Haedar menjadi kekuatan bagi muslim secara pribadi dan umat Islam secara kolektif. Bagi Warga Muhammadiyah, Haedar menambahkan agar tidak perlu khawatir atas maklumat penetapan tersebut sebab dibangun atas dasar keilmuan dan keislaman yang kokoh. “Muhammadiyah dengan hisab wujudl hilal yang dipedomaninya itu sangat kokoh dengan dasar Al Qur’an, Hadits nabi yang kuat ditambah ijtihad. Sehingga pengambilan keputusan itu sungguh memiliki dasar keagamaan yang kuat, jadi bukan hanya dan tidak betul kalau itu bersifat rasionalitas ilmu semata-mata,” terangnya.
Haedar menjelaskan lebih lanjut bahwa Ijtihad Muhammadiyah dalam menetapkan waktu-waktu penting umat Islam dengan wujudul hilal dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan dan keilmuan, bahkan dalam kepentingan kemaslahatan umat untuk memastikan waktu-waktu penting peribadatan. Selain itu, guru besar Sosiologi ini juga mendorong agar kesempatan berjumpa dengan Ramadan dan Syawal 1444 H, harus dimanfaatkan sebagai momen ibadah agar lebih dekat dengan Allah SWT, berbuat baik dalam kehidupan dan membangun diri sebagai mukmin yang lebih baik dari sebelumnya.
Naskah lengkap Maklumat Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H dapat di download DI SINI
LUWUK – Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Muhammadiyah dan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sulawesi Tengah melaksanakan Musyawarah Wilayah (Musywil) ke-13 di Kabupaten Banggai, Sabtu (14/1). Tema yang diangkat dalam Musywil ini adalah “Memajukan Sulawesi Tengah, Mencerahkan Indonesia, Perempuan Berkemajuan, Mencerahkan Peradapan Bangsa”.
Acara yang dipusatkan di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai ini dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Rusdy Mastura, Ketua DPRD Sulteng Nilam Sari Lawira, Bupati Banggai Amir Tomorake, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Irwan Akib, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadyah Sulawesi Tengah Hadi Sucipto, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sulawesi Tengah Nursyah, para pejabat Pemprov Sulteng, Pemkab Banggai, unsur Forkopimda Banggai, dan para peserta muswil.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Tri Hastuti Nur Rochimah menyampaikan bahwa jejak langkah Muhammadiyah di Sulawesi Tengah dibawa oleh seorang tokoh besar nasional yaitu Buya Hamka. “Seorang ulama besar dari Padang Sumatera Barat pada tahun 1930, sebelum Indonesia merdeka. Buya Hamka adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan yang waktu itu juga menjabat sebagai koordinator Muhammadiyah di wilayah Indonesia Timur. Di Sulawesi Tengah, basis gerakan dakwah Muhammadiyah dimulai di desa Wani, kabupaten Donggala.”
Dakwah Muhammadiyah menurut Tri berawal dalam bidang pendidikan di mana para mubhalig/ustadz dari Yogyakarta sebagai pusat Muhamamdiyah menyelenggarakan pendidikan sebagai media dakwah. Selanjutnya pada tahun 60-an datang warga Minang yang telah menjadi pengikut Muhammadiyah di Donggala; dan tahun 1970 warga Muhammadiyah dari Bugis Sulawesi Selatan memperkokoh dakwah Muhammadiyah di Sulteng.
Dari tahun ke tahun, perkembangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Sulawesi Tengah terus mencerahkan melalui berdirinya berbagai amal usaha. “Perkembangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dari waktu ke waktu termasuk amal usaha cukup menggembirakan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan dari PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi di ibu kota propinsi yaitu Palu yang sudah berdiri Perguruan Tinggi bahkan Rumah Sakit dan juga di Banggai telah berdiri Universitas Muhamamdiyah Luwuk,” jelas Tri.
Ia berharap agar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dapat terus memberikan kontribusi bagi kemajuan Sulawesi Tengah. “Semoga Muhammadiyah Aisyiyah terus memberikan kontribusi yang tiada henti dalam berbagai bidang baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan social budaya untuk kesejahteraan masyarakat di propinsi Sulawesi Tengah.”
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Irwan Akib berpesan agar seluruh keluarga Muhammadiyah menerjemahkan prinsip Darul Ahdi wa Syahadah dengan terus bersama pemerintah untuk membangun bangsa dan negara berdasarkan Pancasila. Muhammadiyah menurut Irwan Akib juga akan terus bersinergi, termasuk bersama pemerintah dalam membangun Sulawesi Tengah. Irwan Akib juga menyampaikan apresiasi atas perhatian dan dukungan Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura terhadap gerakan Muhammadiyah.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah unsur penting dalam merawat kerukunan antarumat beragama dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Muhammadiyah salah satu organisasi yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan, tidak terkecuali di Sulawesi Tengah,” ujarnya.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah, kata dia membesarkan bangsa ini dengan penuh kebesaran hati, termasuk dalam merumuskan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Karena itu, Rusdy berharap Musywil ini dapat meningkatkan peran kebangsaan Muhammadiyah. “Musyawarah ini tidak hanya memilih pemimpin organisasi, tetapi jadikan kegiatan ini sebagai perekat silaturahmi antarsesama, dan program kerja hasil musyawarah ini dapat memberikan sumbangsih terhadap kemajuan daerah dan organisasi Muhammadiyah,” demikian Rusdy.
Wali Kota Palu dua periode ini lantas berharap sinergitas antara Muhammadiyah dan pemerintah semakin kuat. Rusdy lantas menyerahkan hibah untuk peningkatan kualitas pendidikan di Universitas Muhammadiyah Palu senilai Rp250 juta. Dia juga berjanji membantu ‘Aisyiyah berupa mobil operasional organisasi.
SURABAYA – Menyampaikan amanat dalam pembukaan Musywil ke-13 ‘Aisyiyah Jawa Timur, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Salmah Orbayinah mendorong agar para kader terus memperkuat peran ‘Aisyiyah di Jawa Timur dalam berbagai bidang termasuk melalui amal usaha. Dalam acara yang berlangsung di Gedung Muzdalifah Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Sabtu (21/1/23) ini, Salmah menyebut bahwa salah satu kunci ‘Aisyiyah dapat bertahan hingga kini adalah karena keberadaan amal usaha ‘Aisyiyah di berbagai bidang yang bersifat inklusif.
“Peran ‘Aisyiyah bersifat inklusif, tidak membeda-bedakan, Rumah Sakit maupun PAUD tidak khusus untuk ‘Aisyiyah karena ‘Aisyiyah terbuka untuk keberagaman budaya dan sebagainya.” Oleh karena itu Salmah berharap di periode ke depan dapat berdiri perguruan tinggi ‘Aisyiyah di Jawa Timur untuk dapat semakin memperkuat peran ‘Aisyiyah.
Melalui kegiatan Musywil ini Salmah juga berharap dapat tidak saja terlaksana Musywil ‘Aiysiyah yang berkeadaban tetapi juga dapat menghasilkan rancangan program sebagai jabaran hasil Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah. Rancangan program Musywil sebagai program unggulan di Jawa Timur menurut Salmah harus dilaksanakan secara masif dan harus bersifat rapi.
Hal tersebut dapat terlaksana menurut Salmah dengan adanya langkah strategis yang dapat dilaksanakan oleh seluruh majelis lembaga di ‘Aisyiyah hingga tingkat ranting. Terutama untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihasapi Jawa Timur saat ini yang terkait perempuan dan anak seperti trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, serta adanya peningkatan permohonan dispensasi menikah di beberapa daerah di Jawa Timur yang harus menjadi keprihatinan ‘Aisyiyah dan organisasi perempuan lain.
“’Aisyiyah itu organisasi dakwah, tidak hanya secara lisan, ‘Aisyiyah juga menerapkan dakwah bil hal dan bil mal yang disampaikan dengan bil mauidhati hasanah wa billati hiya ahsan,” ujarnya.
Salmah juga menekankan pentingnya langkah strategis dalam penguatan keluarga sakinah yang harus dijalankan dari pusat hingga ranting. Menurutnya banyak permasalahan saat ini muncul dan berbasis pada keluarga. “Keluarga merupakan poros kehidupan bagi kehidupan umat dan bangsa, di keluarga harus diberikan penguatan dini.”
Oleh karena itu menurutnya penguatan Keluarga Sakinah harus menjadi prioritas. “Kalau terwujud keluarga sakinah di ‘Aisyiyah ini, Insya Allah masalah-masalah pernikahan dini, kekerasan perempuan dapat teratasi, serta ketahanan keluarga menjadi kokoh.”
Salmah juga mendorong agar ‘Aisyiyah dapat memanfaatkan media digital untuk dapat mempublikasikan berbagai kegiatan yang dilakukan. Menurutnya hal ini tidak dipandang sebagai riya melainkan bentuk syiar atas kerja-kerja ‘Aisyiyah kepada publik. “Saat ini dengan digitalisasi yang sudah berkembang, yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah diumumkan ke publik, kita bisa membedakan antara riya’ dan mempublikasikan kegiatan ‘Aisyiyah di Jawa Timur ini. Mulai saat ini ‘Aisyiyah tidak hanya berjalan di Lorong-lorong sunyi senyat tetapi sebarkan semua kebaikan itu agar semua orang tahu.”
YOGYAKARTA – Peran ulama ‘Aisyiyah sangat penting dalam penguatan peran strategis ‘Aisyiyah. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah dalam kegiatan Pendidikan Kader Ulama ‘Aisyiyah, Cadre Chapter I pada Senin, (30/1/2023). Acara yang dilaksanakan oleh Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ini dilakukan secara hybrid dan diikuti oleh kader ulama ‘Aisyiyah seluruh Indonesia.
Acara ini disebut Salmah merupakan sinergi antar majelis pertama yakni antara MPK dan Majelis Tabligh dan Ketarjihan yang dilakukan setelah kepengurusan ‘Aisyiyah periode 2022-2027 terbentuk. “Ini menanggapi hasil Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah beberapa waku lalu terkait 10 Isu Strategis yang dilakukan diantaranya penguatan peran strategis umat Islam dalam penguatan bangsa. Peran ini diantaranya tidak terlepas dari para ulama ‘Aisyiyah yang tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Salmah.
Sepuluh isu strategis yang diputuskan dalam Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah disebut Salmah yakni Pertama, penguatan peran strategis umat Islam dalam mencerahkan bangsa; Kedua, penguatan perdamaian dan persatuan bangsa; Ketiga, pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif; Keempat, optimalisasi pemanfaatan digital untuk atasi kesenjangan dan dakwah berkemajuan; Kelima, penguatan literasi nasional; Keenam, ketahanan keluarga basis kemajuan peradaban bangsa dan kemanusiaan semesta; Ketujuh, penguatan kedaulatan pangan untuk pemerataan akses ekonomi; Kedelapan, penguatan mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim untuk perempuan dan anak; Kesembilan, peningkatan akses perlindungan bagi pekerja informal; Kesepuluh, penurunan angka stunting.
Salmah menekankan banyak persoalan yang terjadi terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak dan semua itu tidak lepas dari peran penguatan keluarga. Salmah menyebut kader ulama ‘Aisyiyah harus menjadi garda terdepan dalam mengatasi berbagai permasalahan. “‘Aisyiyah menjadi garda terdepan dalam melakukan tindakan preventif dan ini menjadi peran kader ‘Aisyiyah dalam menjaga ketahanan keluarga bukan hanya dari sisi ekonomi tetapi juga sisi spiritualitas dan lainnya karena ulama ‘Aisyiyah tidak hanya bergerak dalam hal agama tetapi juga dalam banyak, yakni sosial, ekonomi, kemasyarakatan, politik, kesehatan, ketahanan keluarga, perubahan iklim, dan sebagainya.”
Dakwah kader ulama ‘Aisyiyah juga disebut Salmah dilakukan melalui dakwah komunitas yang mencerahkan dari bawah. “Mencerahkan, memberdayakan, dan memajukan, itulah dakwah ‘Aisyiyah yang berbasis akar rumput,” terangnya. Terkait kesehatan ibu dan anak khususnya kasus stunting yang masih sangat tinggi di Indonesia, Salmah juga mendorong para kader ulama ‘Aisyiyah untuk bisa berbicara terkait peningkatan kesehatan ibu dan anak di masyarakat. “Komunitas itu masih sangat mendengar apa kata ulama, jadi kalau pesan-pesan tentang penurunan stunting bisa disuarakan melalui para ulama maka bisa cepat sampai pada sasaran.”
Pentingnya peran kader ulama ‘Aisyiyah yang sangat krusial inilah yang menurut Salmah menjadi suatu keharusan bagi ‘Aisyiyah untuk terus menguatkan para kader ulama ‘Aisyiyah. “Menjadi ulama perempuan yang menebarkan Risalah Berkemajuan menebarkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, jadi para ulama perempuan ini masih sangat penting untuk digerakan dan ditambah jumlahnya sehingga kemudian kita lebih mudah mencari para ulama perempuan,” tegasnya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah dalam penguatan para ulama perempuan ini adalah menguatkan para ulama melalui pendidikan. Secara internal ‘Aisyiyah terus melakukan peningkatan kapasitas kader melalui berbagai pelatihan. “Harapan kami semoga ‘Aisyiyah menjadi salah satu yang berperan besar mewujudkan ulama perempuan diseluruh Indonesia sehingga kontribusi ‘Aisyiyah untuk bangsa akan semakin meningkat lagi dengan adanya program yang sangat mendukung terwujudnya ulama perempuan.”
Ketua MPK PP ‘Aisyiyah, Mami Hajarah menyampaikan dalam pertemuan perdana di periode pasca Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah ini akan menjadi langkah awal dalam mengoptimalkan pendidikan kader ulama dalam hal mengembangkan pemahaman Islam Berkemajuan, Manhaj Tarjih, pengembangan pemikiran Islam dengan pendekatan bayani burhani irfani. “Mengoptimalkan para kader ulama perempuan itu meningkatkan dan menguatkan kembali, itu salah satu program yang dimulai hari ini, bagaimana kita meningkatkan kemampuan perempuan ‘Aisyiyah dalam kapasitasnya sebagai ulama,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini juga ‘Aisyiyah mendorong para kader ulama perempuan untuk dapat mengikuti kesempatan beasiswa bagi ulama perempuan yang dibuka oleh pemerintah melalui Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI). Turut hadir adalah Manajer Pendidikan Kader Ulama Perempuan PKUMI, Rosita Tandos. Kesempatan ini disebut Rosita terbuka bagi siapapun, dan ia berharap akan banyak kader ulama ‘Aisyiyah yang dapat berpartisipasi. “Kami berharap organisasi ‘Aisyiyah yang besar ini bisa mengundang, merekrut lebih banyak lagi para kader pada angkatan kedua ini. Kuota angkatan pertama hanya setengah yang bisa terpenuhi, Insya Allah dengan partnership dan sharing ini bisa lebih banyak lagi perempuan Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan khusususnya pendidikan Islam dan bisa menjadi ulama, umaroh, praktisi keagamaan di Indonesia.” (Suri)
YOGYAKARTA – Ulama ‘Aisyiyah disebutkan oleh Ketua Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Mami Hajarah memiliki lima karakteristik. Hal tersebut dipaparkannya dalam kegiatan Cadre Chapter I : Pendidikan Kader Ulama ‘Aisyiyah, pada Senin, (30/1/2023).
Pertama, memiliki pemahaman Islam Berkemajuan. “Ketika bicara Islam Berkemajuan maka di dalamnya ada perempuan berkemajuan, maka ulama ‘Aisyiyah adalah ulama yang memiliki pemahaman perempuan berkemajuan yang saat ini sudah terbit dokumen risalaah perempuan berkemajuan yang harus dikaji lebih mendalam.”
Kedua, memahami Manhaj Tarjih. Ketiga, mengembangkan pemikiran Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Keempat, mampu berdialog dengan berbagai faham dan pemikiran (baik liberal, sekuler, dan konservatif). Kelima, mampu menggerakkan dakwah pencerahan.
Dengan memahami Manhaj Tarjih maka Mami menyebut para ulama perempuan ‘Aisyiyah akan mampu berdialog dengan berbagai paham dan pemikiran. “Ketika kita berdialog maka kita butuh modal yakni cara berpikir, maka dengan memahami bagaimana Manhaj Tarjih di Muhammadiyah, bagaimana cara berpikir dan cara membuat keputusan di Muhammadiyah, kita bisa berkomunikasi dengan berbagai paham dan pemikiran.”
Kemampuan yang perlu dimiliki para ulama perempuan ‘Aisyiyah ini disebut Mami akan menjadi modal tidak hanya mampu berdialog dengan berbagai paham dan pemikiran tetapi menjadi modal bagi kehidupan perempuan di tengah kehidupan yang majemuk. “Hal ini perlu dikuasai ulama perempuan ‘Aisyiyah sehingga dengan modal ini kita mampu berdialog dengan kelompok lain juga bagaimana kita bisa menjadi perempuan yang hidup di tengah bangsa Indonesia yang Pancasilais dan ber-Bhineka Tunggal Ika.” Semua kemampuan ini juga tentu akan mendorong para ulama ‘Aisyiyah untuk dapat melakukan dakwah pencerahan dengan kemampuan berdialog dan modal keilmuan yang memadai.
’Aisyiyah disebut Mami berpandangan Inklusi, terbuka atas pemikiran tetapi memiliki satu keyakinan. “Kita meyakini bahwa yang kita lakukan adalah apa yang diajarkan dalam paham Muhammadiyah sehingga disini kita perlu belajar banyak, bagi perempuan ‘Aisyiyah inklusi dimanapun berada tetapi tetap keyakinan itu satu yakni Manjah Muhammadiyah walaupun kita miliki banyak wawasan.”
Lebih lanjut, Mami menjelaskan bahwa peningkatan dan penguatan kader ulama perempuan ‘Aisyiyah akan terus menjadi salah satu fokus kerja Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Salah satu program yang diusung oleh kepemimpinan MPK pasca Muktamar ke-48 adalah melalui pelatihan kader secara berseri atau disebut dengan Cadre Chapter.
Mami menyebutkan bahwa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sudah melakukan banyak hal dalam pendidikan kader ulama perempuan salah satunya melalui Pendidikan Ulama Tajih Muhammadiyah. “Muhammadiyah sudah konsen dengan ulama sejak tahun 1968 yang ketika itu diawali dengan ulama laki-laki selanjutnya dikembangkan dengan membuka kelas putri, ini adalah salah satu bentuk perhatian Muhammadiyah terhadap pengembangan atau menumbuhkan kemampuan perempuan ‘Aisyiyah untuk menjadi ulama,” jelasnya.
Pendidikan bagi para ulama ini kemudian juga berkembang di kota lain dalam berbagai bentuk. “Kita tentu tidak merasa puas dengan yang sudah ada sehingga di program ini kita masih berkomitmen meningkatkan kapasitas ulama ‘Aisyiyah.”
Siti ‘Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Ketarjihan menyebutkan bahwa ulama adalah para perempuan yang menguasi ilmu pengetahuan khususnya tentang agama Islam dan pengetahuan lain. “Dengan bekal ilmu pengatahuan tersebut para perempuan ‘Aisyiyah menggerakkan perempuan untuk menjawab permasalahan prempuan yang ada.”
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah ‘Aisyiyah disebut ‘Aisyah memberikan bukti kepeduliannya bagi pendidikan para perempuan. “Seluruh aktivitas yang dilakukan ‘Aisyiyah dan pasti dilakukan oleh para ulama adalah melalui pendidikan yakni perempuan harus pintar, perempuan harus berilmu,” tegasnya. ‘Aisyah mengisahkan bahwa K.H Ahmad Dahlan bersama Nyai Walidah di masa awal berdirinya Muhammadiyah ‘Aisyiyah telah mendirikan sekolah dan forum kajian untuk perempuan di seluruh level baik perempuan yang sudah berkeluar dalam Sapa Tresno, para remaja putri dalam komunitas Wal Ashri, serta bagi para buruh dan pekerja rumah tangga yang mereka bekerja dari pagi sampai sore melalui Maghribi School.
“Nyai Dahlan melihat para perempuan ini memiliki hak pendidikan, maka ini diselenggarakan berbagai kelompok belajar,” ujar ‘Aisyah. Nama Maghribi School disebut Mami diberikan karena kelompok belajar ini dilakukan setelah waktu magrib yang menyesuaikan waktu para pekerja perempuan tersebut selesai bertugas. Berbagai istilah yang dikenalkan oleh ‘Aisyiyah pada masa itu disebut ‘Aisyah sudah menunjukkan wacana kemajuan.
Evi Sovia Inayati, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa ulama-ulama perempuan ‘Aisyiyah memiliki beberapa misi yang harus dilakukan. Antara lain membimbing umat Islam menuju khairu ummah atau umat yang terbaik. “Yakni umat yang memiliki pandangan yang berorientasi pada kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan, inovasi, kreatif dalam bingkai keimanan dan ketauhidan.”
Majelis Tabligh dan Ketarjihan disebut Evi memiliki kepentingan atas hadirnya ulama-ulama perempuan ini. Para ulama juga diharapkan mampu menjadikan umat yang moderat yang menghargai kemajemukan, toleransi, inklusifitas, kesetaraan, perdamaian yang kesemuanya menuju rahmatan lil alamin. “Para ulama juga harus mampu menghadirkan keunggulan yang diharapkan bisa memproduksi pandangan keagamaan yang menyikapi persoalan keumatan, kemasyrakatan secara luas khususnya persoalan anak dan perempuan.” Karena pentingnya peran dari ulama perempuan ini maka ‘Aisyiyah melakukan upaya yang terus menerus dan serius untuk melahirkan para ulama ini melalui pendidkan formal, pemberian beasiswa, serta membuka akses seluasnya bagi pada kader ulama ini untuk melanjutkan pendidikan. (Suri)
Jl. KH. Ahmad Dahlan Nomor 32, 55161, Yogyakarta
Telp/Fax: 0274-562171 | 0274-540009
Jl. Menteng Raya No. 62, 10340, Jakarta Pusat
Telp/Faks: 021-3918318
Jl. Gandaria I/1, Kebayoran Baru, 12140, Jakarta Selatan
Telp/Faks: 021-7260492