Damai, Cinta, Bahagia, Berdaya, Tulus Jadi Lima Nilai Dasar Pendidikan
YOGYAKARTA – Dalam “Seminar dari Kelas ke Kehidupan: Menanamkan Nilai – Nilai Nirkekerasan dan Kesetaraan Gender di Lingkungan Pendidikan,” Direktur Center for Teaching Staff Development (CTSD) UIN Sunan Kalijaga, Muqowim menyoroti pentingnya pendidikan nirkekerasan untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif di sekolah. Acara yang digelar pada Sabtu (30/11/24) ini merupakan kerjasama Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen bekerja sama dengan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
Muqowim menjelaskan bahwa pendidikan nirkekerasan adalah upaya untuk mengembalikan esensi pendidikan sebagai proses pembentukan karakter yang damai, penuh cinta, dan membahagiakan. Ia menekankan bahwa lingkungan pendidikan harus bebas darie tekanan, konflik, dan kekerasan, baik fisik maupun psikologis. “Esensi pendidikan adalahm endamaikan dan menumbuhkan rasa cinta. Saat guru, siswa, dan tenaga pendidik lainnya mempraktikkan nilai-nilai ini, sekolah akan menjadi surga kecil yang mendidik,” ujar Muqowim.
Lebih lanjut Muqowim mengungkapkan lima nilai dasar yang perlu dipraktikkan dalam pendidikan untuk membentuk lingkungan yang sehat dan menyenangkan, yaitu damai, cinta, bahagia, berdaya, dan tulus. Kedamaian menjadi landasan pendidikan, di mana hanya orang yang damai yang mampu mendamaikan lingkungan sekitarnya. Pendidikan yang dilandasi cinta mendorong kebiasaan memberi dan melayani dengan tulus. Guru yang penuh cinta pasti akan memberikan yang terbaik untuk muridnya, sama seperti orang tua yang mencintai anaknya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kebahagiaan sebagai kualitas asli manusia. Kebiasaan bersyukur dan menggeser sudut pandang negatif menjadi positif, seperti menyapu halaman dengan penuh makna, dapat menjadi sumber kebahagiaan. Selain itu, pendidikan harus membangun semangat dan antusiasme, sehingga mengatasi fenomena fear of missing out (FOMO) dengan sikap joy of missing out (JOMO) yang lebih sehat. Ketulusan dalam pendidikan juga ditekankan, yakni melaksanakan tugas tanpa pamrih dan penuh integritas. Menurutnya, ketulusan adalah modal besar dalam mendidik agar pendidikan tidak menjadi sekadar formalitas.
Ia juga menggarisbawahi tantangan era digital, seperti pengaruh negatif media sosial dan hilangnya interaksi penuh makna dalam keluarga. “Kita harus mengubah cara pandang terhadapa tantangan ini. Misalnya, melihat setiap masalah sebagai guru yang mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri,” katanya.
Sebagai penutup, Muqowim menegaskan bahwa tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar tetapi menyentuh hati. “Pendidikan sejati adalah pendidikan hati. Guru yang mampu menyentuh hati muridnya akan menciptakan perubahan besar, baik di sekolah maupun di masyarakat,” tambahnya.
Seminar ini diharapkan menjadi inspirasi bagi para guru untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman, nyaman, dan menggembirakan, sekaligus memperkuat karakter anak-anak Indonesia.(Rere)