Membangun Kesalehan Digital untuk Kehidupan Digital Indonesia
Jika sebelumnya kita mengenal kesalehan personal berupa ibadah mahdhah dan kesalehan sosial berupa muamallah kita sebagai manusia, maka di tengah perkembangan jaman muncul apa yang disebut dengan kesalehan digital. Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah mengkaji lebih dalam mengenai kesalehan digital tersebut dalam Dalam Kajian Ramadan bertema Perempuan dan Kesalehan Digital pada Jumat (15/4/2022).
Alimatul Qibtiyah, Ketua LPPA PP ‘Aisyiyah dalam pemaparannya menjelaskan konsep saleh dan ihsan di era digital saat ini. Ia menyampaikan bahwa kata saleh berasal dari shaluha–yashluhu–shalahan yang artinya baik, tidak rusak, dan patut. Sehingga orang salih berarti adalah orang yang baik, yang tidak merusak, orang yang patut, serta orang yang mendamaikan. Alim juga memaparkan bahwa dari definisi al-Qur’an, orang yang beramal saleh akan menyuruh kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan bersegera mengerjakan kebaikan.
Oleh karena itu menurutnya bentuk nyata kesalehan digital terdiri dari tiga yakni pertama, baik, dengan menghargai keragaman serta memberikan contoh kebaikan juga inspiratif. Kedua, tidak merusak integritas identitas diri sendiri, memikirkan dampak perilaku digital. Ketiga, patut yakni menjaga kesopanan dalam bertutur, dan punya etiket yang baik dalam berkomunikasi.
Alimatul juga menyampaikan tentang konsep ihsan di dunia digital. Ia menyebut salah satunya adalah adanya pelibatan Tuhan dalam semua aktivitas yang dilakukan. “Melibatkan Tuhan dalam semua aktivitas termasuk dalam aktivitas digital, sehingga apa yang kita lakukan di dunia digital mempunyai nilai ibadah dan bermanfaat,” terangnya. Termasuk memperbanyak amal jariyah dengan membuat konten-konten yang membawa kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan. Serta menguatkan perdamaian, keummatan, dan kebangsaan. “Kita juga harus berhati-hati dengan penggunaan agama dalam isu politik yang bisa berdampak pada polarisasi dan kebencian.”
Lebih lanjut, Alimatul juga meminta agar dalam dunia digital kedepankan cek double cek terkait informasi yang didapat. Bersifat jujur dalam bertransaksi bagi yang berbisnis di dunia digital serta mengedepankan etika tidak aji mumpung ataupun tidak wajar dalam mengambil keuntungan. “Hal yang penting lainnya adalah perlunya penguatan kesalehan digital subtantif, bukan hanya kesalehan digital yang formalistik,” tegas Alimatul.
Ismail Fahmi, seorang pakar media sosial menyampaikan sebuah data hasil penelitian microsot yang menyebut bahwa netizen Indonesia adalah netizen yang paling tidak sopan di ASEAN. Dimana 50% netizen Indonesia terlibat cyberbullying yakni 5 dari 10 orang mengaku terlibat bullying. Kemudian hal apa yang menyebabkan orang mendapatkan bullying di internet ? Ismail Fahmi menyebut dua alasan yang paling besar adalah penampilan sebesar 61% dan juga capaian akademik atau kepintaran sebesar 25%, kemudian karena suku, karena seksualitas, agama, finansial, dan lain-lain. “Ini sebagai contoh bahwa mudah sekali bagi orang yang meskipun soleh penampilannya akan mudah terjatuh melakukan bullying.”
Oleh karena itu dalam kehidupan digital menurutnya diperlukan netiket atau etiket di internet. Ismail Fahmi menyebut bahwa Netiket inilah yang bisa membawa kesalehan digital. “Netiket itu apa sih ? itu sebenarnya aturan dan petunjuk untuk berkomunikasi secara online di internet,” terangnya.
Ellen Kusuma dari safenet.or.id menyebutkan bahwa dengan konsep patriaki yang berlaku ini artinya banyak hal yang diatur maupun diciptakan termasuk penciptaan teknologi digital dalam bentuk male gaze atau pandangan laki-laki. Hal ini menurutnya akan merugikan kelompok rentan seperti perempuan maupun anak-anak.”Contohnya adalah ketika teknologi digital menciptakan platform digital yakni media sosial, tetapi media sosial ini kemudian tidak memberikan regulasi cukup baik untuk bisa mengantisipasi hal-hal yang dihadapi oleh perempuan maupun oleh anak saat mengakses platform digital.” Ini menurutnya merupakan bagian saat male gaze terjadi. “Karena tidak bisa melihat situasi yang tidak dialami oleh laki-laki, tidak bisa melihat kerentanan yang dapat dialami oleh identitas lain.”
Ellen menyebutkan salah satu yang marak di tengah perkembangan teknologi adalah munculnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Data dari layanan aduan yang dibuka oleh Safenet sepanjang tahun 2021 ada 677 aduan dengan 562 aduan langsung dari korban. 508 kasus tersebuut adalah KGBO dalam bentuk ancaman penyebaran konten intim non konsensual dan kejahatan lain yang terjadi secara online.
Oleh karena itu Ellen menyebutkan beberapa perlindungan dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. “Kita memerlukan kepastian hukum yang tidak bias kepada perempuan dan ketubuhannya.” Misalnya ia menyebut dengan menerpkan Perma No. 3/2017. Kemudian penanganan dan pemulihan jejak digital korban dengan penerasan UU ITE Pasal 26 (3) tentang hak untuk dilupakan dan PP Kominfo No.71/2019 yakni pasal tentang penghapusan dan delisting konten untuk dapat diberlakukan sehingga mampu membantu korban.
Dengan telah disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Ellen menyebut diperlukan implementasi yang lebih berpihak kepada korban. “Kita juga perlu melihat RUU Perlindungan Data Pribadi karena jika kita melihat sangat erat sekali kekerasan di dunia digital adalah terkait penyebaran data pribadi seseorang, RUU ini sudah beberapa tahun mandek di DPR.”
Kemudian perlindungan lain yang dibutuhkan adalah penanganan hukum dan teknologi yang tanggap dengan karakteristik teknologi digital dan internet. “Seperti kita tahu orang menyebarkan satu informasi hanya cukup waktu tidak sampai lima detik tetapi penanganan kasus kekerasan berbasis gender online itu bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun, maka bagaimana kita bisa mengupayakan proses hukum yang lebih berpihak pada korban dalam waktu yang cepat sehingga bisa menjawab karakteristik teknologi digital yang serba cepat.” Kemudian perlindungan lain yang dibutuhkan adalah terkait edukasi literasi digital untuk menumbuhkan teknologi digital yang mengedepankan kontrol pada pengguna untuk menjaga privasi dan menerapkan konsen dengan tepat.
Ditambahkan oleh Ellen, solusi-solusi tersebut haruslah digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Solusi itu tentu harus digerakkan oleh semua pemangku kepentingan kita tidak bisa bersandar hanya kepada aparat penegak hukum maupun pemerintah, tetapi diri kita sendiri juga harus bergerak dan mendorong platform digital mengambil tanggung jawab lebih besar dan tidak lepas tangan begitu saja.” (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!