Pola Asuh Hingga Budaya Masih Jadi Faktor Tingginya Stunting di Indonesia
“Stunting meningkat signifkan pada usia 6-23 bulan, akibat kurang protein hewani pada makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan.” Hal ini disampaikan oleh Tri Cahyono Nugroho, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dalam acara Webinar Cegah Stunting : Isi Piringku Kaya Protein Hewani yang dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Kabupaten Garut dalam Program Inklusi bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Garut.
Karena kondisi inilah maka disebut Tri, intervensi stunting perlu dilakukan sebelum dan setelah kelahiran. “Sebelum lahir sekitar 23% anak lahir dengan kondisi sudah stunting, artinya panjang badan kurang dari 48 cm yang merupakan akibat ibu hamil sejak masa remajanya kurang gizi dan anemia dan berdasarkan penelitian angka stunting kemudian juga meningkat 1,8 kali menjadi 37% pada saat bayi menginjak usia 12-23 bulan.”
Stunting naik pada pertambahan usia anak disebut Tri karena salah satunya kekurangan asupan protein pada masa pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI). “Ibu merasa sudah puas ketika anaknya kenyang padahal nilai gizinya harus diperkaya lagi dengan menambah protein, misalnya menambah telor atau hati begitu, ini yang harus kita perhatikan.”
Kondisi stunting sendiri disebut Tri sebenarnya dipengaruhi oleh dua hal yakni faktor asupan gizi dan adanya infeksi. “Berdiri sendiri atau dua-duanya pada pada balita maka itu bisa menyebabkan stunting, jaga asupan gizi anak, jaga anak agar tidak sakit, maka balita kita tidak akan menjadi stunting,” paparnya.
Oleh karena itu Tri menyampaikan bahwa salah satu upaya percepatan penurunan stunting yang dilakukan di Kabupaten Garut adalah melalui TOSS Stunting yakni Temukan, Obati, Sayangi Balita Stunting. “Untuk mengatasi stunting siambil langkah-langkah cepat strategis dan inovatif yang langsung dipimpin bapak Bupati Garut yang melibatkan seluruh SKPD, Kecamatan, Desa untuk intervensi stunting.”
Kolaborasi multipihak dan multisektor dalam upaya percepatan penurunan stunting dan pencegahan stunting juga diamini oleh Ketua Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah, Warsiti. Upaya meningkatkan asupan gizi pada anak disebut Warsiti bukanlah hal yang mudah, karena melibatkan banyak faktor seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta informasi.
Terlebih menurut Warsiti yang juga Rektor Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta ini masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa stunting bukanlah sebuah masalah, melainkan sekadar periode atau proses pertumbuhan anak. Padahal kondisi stunting pada anak disebut Warsiti akan membawa dampak pada perkembangan otak dan masa depan seorang anak.
Dalam hal budaya, Warsiti menjelaskan bahwa antara budaya dan stunting ini sangat terkait erat masih sering kita jumpai pengasuhan anak dan peran domestik yang dianggap sebagai kewajiban Ibu. “Masih kita temui bahwa mengasuh anak itu Ibu yang bertanggung jawab, bukan suami, bukan ayah, bahkan ketika kita tanya apakah Ayah perlu diberi edukasi, dibilang tidak perlu karena yang utama mengasuh anak itu kan Ibu.” Padahal menurutnya suami adalah sosok penting yang signifikan untuk mendorong adanya pengasuhan yang baik dan dalam memberikan nutrisi yang adekuat. Hal ini dijelaskan Warsiti sangat memerlukan upaya untuk memberikan informasi yang benar bahwa tanggung jawab pengasuhan itu tanggung jawab kedua orang tua.
Kemudian Warsiti juga menyebut bahwa banyak culture di Indonesia yang menyebabkan seorang Ibu terhambat dalam upaya mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan akibat keadilan gender. Padahal kesehatan ibu yang tidak optimal akan menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Selain itu, capaian ASI Eksklusif yang masih rendah serta masih tingginya angka perkawinan anak di Indonesia juga menjadi faktor-faktor risiko stunting yang dipengaruhi oleh kondisi budaya. (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!