Kawal Pilkada : Jadi Pemilih Cerdas Bukan Pemilih yang Dibeli Dengan Harga Murah
YOGYAKARTA – “Konsep besar harapan persyarikatan bahwa Pemilu ini bisa menghadirkan pemimpin yang qualified, yang konstitusional, pemimpin besar yang menjadi negarawan, bukan menjadi dirinya dan kroninya.” Hal tersebut disampaikan Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini dalam Webinar Pendidikan Pemilih Cerdas untuk Pilkada dan Pembangunan Daerah yang Inklusif pada Sabtu (2/11/24)
Noordjannah juga mengharapkan sistem Pemilu akan terus menerus diperbaiki dan juga daya pikir masyarakat dapat semakin kritis. “Harapannya sistem yang semakin bagus akan membawa masyarakat kita semakin cerdas dan semakin memiliki keberpihakan untuk kepentingan orang banyak, bukan pada kepentingan kelompok yang bisa dibeli dengan harga murah,” tegas Noordjannah.
Pelaksanaan Pemilu selalu menyisakan pekerjaan rumah yang harus menjadi perhatian bersama semua pihak termasuk oleh organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah ‘Aisyiyah. Hal yang menjadi perhatian Muhammadiyah ‘Aisyiyah disebut Noordjannah adalah agar para penggiat Pemilu bersih, dapat menghadirkan Pemilu bermakna, dan Pemilu substantif. “Memalui Pilkada ini harus juga mendalami dan mendialogkan, mensosialisasikan, dan menguatkan jaringan untuk bersinergi, juga harus ada strategi untuk kita berbuat nyata.”
Witri dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah menyebut bahwa Pilkada ini pekerjaan luar biasa dengan biaya, dengan kapasitas, lingkup dampak yang menjadi perhatian tersendiri bagi Muhammadiyah. “Sebagai warga persyarikatan kita tidak boleh lelah mengawal isu ini karena isu ini berdampak panjang, berbiaya mahal, dan berikso tinggi, serta rentan penyelewengan dan korupsi.” Oleh karena itu, menurut Witri ‘Aisyiyah perlu meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya partisipasi politik perempuan terutama kelompok rentan dan pentingnya menjadi pemilih cerdas. “Selain itu juga bagaimana kemudian kita melihat pentingnya strategi pengarusutaman gender, disabilitas, dan inklusi sosial di Pilkada dan pasca Pilkada.”
Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menyoroti berbagai isu yang masih menjadi permasalahan di Pemilu lalu, salah satunya adalah politik uang yang masih menjadi PR besar dalam memilih pemimpin ke depan. “Kita perlu mendiskusikan dan membuat langkah kampanye anti politik yang merupakan catatan penting pelaksanaan Pemilu kita.” Selain itu, lanjut Tri juga adalah bagaimana pengarusutamaan Pemilu yang inklusif yang akan memberikan ruang yang sama bagi teman-teman disabilitas, masyarakat di daerah terpencil, hingga para lansia. “Komitmen ’Aisyiyah adalah mengawal Pemilu yang prosedural menjadi substansial dengan perspektif yang inklusif,” tegas Tri.
Ridho al-Hamdi, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait Kebijakan Politik Kebangsaan Muhamadiyah ‘Aisyiyah dalam Pilkada Serentak 2024 menyampaikan bahwa posisi Muhammadiyah dalam politik adalah posisi yang independen berdasarkan Keputusan Muktamar Muhammadiyah 1978 di Kota Surabaya dengan pengertian tidak merupakan bagian, tidak mempunyai hubungan organisasi, tidak merupakan afiliasi dan tidak mempunyai ikatan kelembagaan dengan organisasi lain.
“Muhammadiyah memiliki otoritas otonom dan berwenang mengatur sendiri rumah-tangga dan kaidah-kaidah organisasinya. Sehingga memiliki otoritas mengatur rumah tangganya sendiri.” Hal ini disebut Ridho menjadi kekuatan Muhammadiyah ‘Aisyiyah untuk dapat melakukan konsolidasi internal.
Terkait pelaksaan Pemilu yang inklusif juga disorot oleh Nur Syarif Ramadhan dari Formasi Disabilitas, menurutnya ketika bicara soal isu inklusif mestinya semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali termasuk kelompok rentan itu bisa diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Terlebih sudah banyak kebijakan yang mengatur mengenai keterlibatan kelompok rentan dan disabilitas dalam Pemilu. Akan tetapi menurutnya di lapangan masih banyak catatan pada pelaksanaan pemilu yang lalu. “Tantangan yang ditemui masih terkait aksesibilitas, yang semestinya pada momen Pilkada nanti tantangan yang ditemukan pada Pemilu sebelumnya dapat diminimalisir, melihat bahwa tingkat kerumitan Pilkada dengan Pemilu itu jauh lebih sederhana,” ujar Syarif.
Titi Anggraini, dari LPPA PP ‘Aisyiyah dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga mendorong masyarakat Indonesia untuk tidak hanya mengawal proses Pemilu tetapi juga pasca Pemilu. Pada Pemilu Titi menyampaikan masyarakat untuk dapat memilih pemimpin yang tidak bermain politik uang. “Kita semua sama sama mengakui bahwa politik uang telah membeli dan membajak Pilkada dan Pemilu kita, tapi ternyata tidak koheren dengan penegakan hukum yang perkara sampai proses pidana hanya berjumlah 23 putusan, oleh karena itulah pentingnya kita melakukan pemantauan,” ucap Titi.
Pemilu maupun Pilkada disebut Titi adalah harapan semua masyarakat untuk dapat melahirkan kepemimpinan yang betul betul mampu menjalankan tugas tanggung jawab dan amanat yang dipegang.
“Sehingga dia tidak akan mampu merealisasikan itu kalau hadir dari sebuah proses yang bermasalah atau proses yang curang. Jadi kalau ingin mendapatkan kepemimpinan yang baik rumusnya sederhana, dia harus menang dari sebuah proses yang baik. Tidak mungkin dapat menjadi pemimpin yang baik kalau hadir dari sebuah kepemimpinan yang diperoleh melalui pemilihan yang bermasalah.”
Selain mengawal proses Pemilu, Titi juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk dapat berpartisipasi mengawal proses pembangunan pasca Pemilu. Bahwa dalam RPJPN 2025-2045 menyebutkan dalam konsteks supremasi hukum pembangunan demorasi diarahkan untuk pembangunan demokrasi yang substansial. (Suri)