Ini Pentingnya Perspektif GEDSI untuk Mengurai Masalah Stunting
Menjadikan GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) dalam setiap aspek pelayanan menjadi sebuah tantangan untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam upaya penurunan stunting dan pencegahan perkawinan anak. Hal tersebut dipaparkan dalam Workshop Analisis Kebijakan dan Implementasi Program Penurunan Stunting, Selasa (7/06/2022).
Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Bappenas RI menyampaikan bahwa ada lima kategori yang termasuk pada kelompok sasaran utama stunting yakni remaja, calon pengantin, Ibu hamil, Ibu menyusui, anak berusia 0-59 bulan yang disebutnya sebagai kategori keluarga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). “Ini kelompok windows opportunity di mana intervensi dan investasi pada kelompok ini dampaknya akan sangat besar bagi individu kelompok itu sampai dia dewasa.”
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Program Inklusi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah tersebut Pungkas menyebut bahwa jika melihat dari perspektif GEDSI, maka kondisi stunting dan wasting yang terjadi di seluruh wilayah dan kelompok ekonomi membutuhkan peran laki-laki maupun perempuan dalam hal ini gender akan sangat penting terutama dalam hal decision making atau pengambilan keputusan terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan makan dan pola asuh yang cukup.
Peran perempuan dan laki-laki ini disebut Pungkas adalah dalam hal decision making, resource allocation, feeding & healthcare seeking practice, dan smoking. “Jika Kepala Rumah Tangga laki-laki maka decision making di laki-laki, padahal yang paling dekat dengan pola asuh itu adalah ibu, jika pola asuh tidak tepat maka ketika ibu sebagai prime care giver itu harus diberi decision making yang kuat untuk memberikan komando pada kebutuhan pangan maupun kesehatan,” terang Pungkas. Ia melanjutkan bahwa decision making itu sangat penting karena menjadi penentu yang memutuskan pemanfaatan resource atau sumber daya dan dana tadi.
Kesenjangan gender dijelaskan Pungkas juga masih menjadi permasalahan di bidang gizi. “Data menunjukkan bahwa ketidakcukupan konsumsi pangan lebih tinggi terjadi kepada perempuan dibanding laki-laki.” Hal ini menurutnya dapat dilihat dari tingginya angka anemia yang terjadi pada ibu hamil. Kemudian, dalam usia remaja juga data menyebut bahwa angka anemia terbesar terjadi pada remaja putri. “Anemia ini dampaknya besar, karena merupakan salah satu faktor risiko pada Angka Kematian Ibu ataupun kondisi stunting pada balita yang dilahirkan,” terangnya.
Oleh karena itu maka tidak heran, Pungkas menyebut sebuah pepatah yang menyatakan maju mundurnya suatu bangsa itu ditentukan pada ibu. “Karena ibulah yang melahirkan, jadi kalau anemia pada remaja putri dan kondisi ibu yang hamil kekurangan gizi seperti ini maka generasi yang dilahirkan pasti akan stunting. Ketika stunting, potensinya hanya 54% yang dapat dimanfaatkan ketika dewasa sehingga negara tidak akan maju.” Bahkan Pungkas menegaskan, suatu generasi yang kemampuannya optimal 100% pun belum tentu mampu membawa negara bersaing dengan negara lain, apalagi kalau hanya 54% potensi yang dimilikinya.
Pungkas juga menyoroti perilaku keluarga yang mengutamakan pengeluaran rokok dibandingkan pemenuhan gizi. Data ini disebutkan kebanyakan terjadi pada keluarga miskin. “Pada keluarga miskin pengeluaran terbesar kedua adalah merokok. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran protein dan pengeluaran kesehatan, sehingga tidak heran apabila pada kelompok perokok prevalensi jumlah stuntingnya lebih tinggi karena melibatkan resource allocation, resource yang harusnya dialokasikan pada konsumsi makanan dan kesehatan tidak ada karena dipergunakan untuk merokok dan itu pengeluarannya sangat besar,” paparnya.
Lebih lanjut Pungkas juga menyebut terkait inklusi sosial pada sisi geografis. Ini hal yang sangat penting karena daerah-daerah yang terpencil akan memunculkan permasalahan dalam akses rumah tangga terhadap layanan kesehatan. “Layanan kesehatan dan lingkungan yang tidak adekuat ini menjadi permasalahan penduduk miskin maupun tidak miskin di daerah tertentu karena aksesnya yang minim. Isu ini menjadi penting terkait inklusi sosial dalam equity akses layanan kesehatan.” (Suri)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!